I.
SEJARAH DAN SASTRA
Sesungguhnya, sebagian besar isi dari kitab
suci Al Qur'an, dapat ditafsirkan sebagai Mahasejarah. Pengetahuan tentang
riwayat kehidupan manusia, hayat para Nabi dan Rasul, semua itu dapat diketahui
berdasarkan informasi dari kitab suci Al Qur'an.
Kadzalika nuaqushu `alaika min ambaa‑i maa
qod sabaqo. Waqod a'tainaka minladunna dzikron. (Surat Thahaa, Ayat
99).
Terjemahan:
Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian
kisah umat yang telah lalu, dan sesunguhnya telah Kami berikan kepadamu dari
sisi Kami suatu peringatan (Al‑Quran).
Pengertian
tentang Sejarah menurut G.R. Elton dan Henri Pirenne, kurang lebih sebagai
berikut:
Sejarah adalah suatu hasil studi tentang
perbuatan dan hasil‑hasil kehidupan manusia dalam masyarakatnya di masa silam.
Sejarah, diungkapkan melalui studi disiplin
ilmu:
1. Filologi, ilmu yang
mempelajari tulisan dan bahasa pada naskah‑naskah kuno pada lontar, daluwang,
kertas;
2. Epigrafi, ilmu yang
mempelajari tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam, yang dikenal
sebagai prasasti;
3. Arkeologi, ilmu yang
mempelajari benda‑benda peninggalan sejarah (artefak).
Ilmu
pengusung lainnya, adalah geografi sejarah (ilmu yang
mempelajari peta sejarah), linguistik (ilmu yang mempelajari kebahasaan) dan
antropologi (ilmu yang mempelajari kebudayaan).
Sedangkan di pihak lain, pengertian tentang
"sejarah", umumnya berupa dongeng, cerita, tambo, legenda, mitos, dan
lain sebagainya. Seperti halnya yang dipahami oleh umumnya masyarakat Sunda,
yang dianggap "sejarah" tersebut, adalah: dongeng, sasakala, pantun,
wawacan, babad dan lain-lain. Padahal, ragam tersebut, berada di wilayah
disiplin ilmu Sastra.
Tidak
dapat dipungkir, di dalam pemahaman kehidupan sehari‑hari, antara Sejarah
dengan Sastra, memiliki pemisah yang sangat tipis. Masyarakat sulit untuk bisa
membedakan, yang mana Sejarah dan yang mana Sastra. Oleh karena itu, sejarah
yang akan diungkapkan dalam buku ini, pembahasannya sedapat mungkin sudah
dikaji terlebih dahulu berdasarkan disiplin ilmu Sejarah. Sedangkan sumber‑sumber
Sastra (sasakala, pantun, wawacan dan babad), sampai taraf tertentu, hanya
dijadikan sebagai sumber pembanding.
Untuk
memudahkan pembaca umum (masyarakat luas), pembahasan dalam buku ini, beberapa
ketentuan yang bertalian dengan sistematika, metodologi dan penulisan ilmiah
sejarah yang ketat, sedapat mungkin disederhanakan. Hal tersebut sangat
disadari, agar sejarah yang dianggap wilayah kering, akan menjadi lahan yang
subur, mudah dipahami dan tersosialisasi dengan baik.
II.
SUMBER PUSTAKA WANGSAKERTA
Kehadiran
naskah‑naskah kuno (pustaka) Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke‑17 Masehi,
setelah diuji secara filologi oleh para akhli, Tim Penggarap Naskah Pangeran
Wangsakerta (dipimpin oleh Prof Dr. H. Edi S. Ekadjati, Program Kerja Yayasan
Pembangunan Jawa Barat, 1989‑1991), telah menjadi sumber yang berharga bagi
ilmu pengetahuan sejarah.
Nama
Pangeran Wangsakerta mulal menarik minat kalangan sejarah, setelah diterbitkan
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis oleh
Pangeran Arya Cirebon dalam tahun 1720. Pangeran Arya Cirebon alias Pangeran
Adiwijaya, adalah putera bungsu Sultan Kasepuhan pertama. la kemenakan Pangeran
Wangsakerta.
Dalam
percaturan Sejarah Tatar Sunda, Priangan khususnya, nama Pangeran Arya Cirebon
cukup dikenal, karena sejak tahun 1706 ia ditunjuk oleh Kompeni Belanda
menjadi opzichter para bupati di Priangan. la dinilail amat
berhasil dan amat pandai, sehingga, setelah wafat dalam tahun 1723, Kompeni
Belanda tidak sanggup mencari penggantinya, karena dianggap tidak ada tokoh
yang mampu menyamainya.
Naskah Purwaka
Caruban Nagari, memiliki kadar kesejarahan yang jauh lebih tinggi (jika
dibandingkan dengan naskah babad atau sejenisnya), karena menyebutkan sumber
penulisnya. Kalimat terakhir naskah tersebut memberitakan, bahwa cerita itu
disusun oleh Pangeran Arya Cirebon, berdasarkan naskah Pustaka Nagara Kretabhumi karya Pangeran Wangsa
kerta.
Sebenarnya masih ada sebuah naskah lain,
yang menyebutkan Pustaka Nagara Kretabhumi sebagai sumber, yaitu Pustaka
Pakungwati Cirebon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala (Demang
Cirebon) bersama Tirtamanggala (Demang Cirebon Girang). Dalam naskah ini, hanya
pada halaman akhir disebutkan sebagai kutipan dari Pustaka Nagara Kretabhumi,
yaitu mengenai pernah adanya Kerajaan Tarumanagara, dengan raja-rajanya yang
memakal nama Warman sebagal pendahulu Kerajaan Pajajaran. Bagian selebihnya,
tampil dalam gaya sastra babad biasa, yang penuh dengan hal-hal sensasional dan
dibumbui supranatural.
Sejak naskah Purwaka Caruban Nagari diterbitkan
tahun 1972, mulallah nama Pangeran Wangsakerta dikenal umum, sebagai pujangga
penyusun naskah Pustaka Nagara Kretabhumi. Namun tak seorangpun
mengetahui, naskah tersebut benar‑benar pernah ada atau tidak, dan kalau ada,
tak seorangpun yang mengetahui tempatnya.
Setelah pelacakan yang intensif, namun
dilakukan secara diam-diam selama 5 tahun oleh Drs. Atja, akhirnya naskah
Pustaka Nagara Kretabhumi mulai ditemukan dan dibeli oleh Museum Negeri Sri
Baduga (Jawa Barat) dalam pertengahan tahun 1977. Setelah itu, secara berturut‑turut,
naskah-naskah lain karya Pangeran Wangsakerta, disampaikan kepada Museum Negeri
Sri Baduga Jawa Barat dari para pemiliknya, yang kebanyakan berdomisili di luar
Jawa.
Pakar
sejarah Edi S. Ekadjati, dalam buku Naskah Sunda (1988), meriwayatkan tentang
penemuan 47 buah naskah Pustaka Wangsakerta. Empat buah naskah di antaranya, ditemukan
di Banten, antara lain:
1. Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara (Parwa II, Sarga 2), dikumpulkan antara tahun 1967‑1969 di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan (69 lembar) dari seorang pedagang, dan di
Serang (Banten) sebanyak 33 lembar. Pada tahun 1977 naskah ini dijilid dan
sudah lengkap. (Pemberi keterangan Siradjudin, tanggal 5‑2‑1978);
2. Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara (Parwa II, Sarga 3). Sebagian naskah ditemukan pada tahun
1949 di Palembang dan sebagian lainnya di Banten, dari seorang dukun keliling
penjual jamu. Beberapa naskah yang ditemukan di Palembang pada tahun 1964,
sebagian terendam lumpur, akibat banjir Sungai Musi. Baru tahun 1979, naskah
ini terkumpul lengkap, setelah digabungkan dengan naskah yang ditemukan di
Banten;
3.
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa III,
Sarga 5), dari Banten tanggal 4 September 1983;
4.
Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (Panyangkep),
sebagian dari Palembang (Atmo Darmodjo), sebagian dari Serang (Yusuf, dan
sebagian lagi dari Jambi (Hassan). Dikumpulkan tahun 1926‑1931 dan dijilid
tahun 1978;
Dari
47 naskah Pangeran Wangsakerta, dapat diketahui, bahwa tebal tiap jilid
bervariasi antara 100 sampal 250 halaman, dengan isi antara 21 sampal 23 baris
tiap halaman. Berdasarkan laporan pengujian secara kimiawi di laboratorium
Arsip Nasional (1988), kertas daluang yang digunakan dalam naskah‑naskah
Pangeran Wangsakerta, sudah berusia lebih dari 100 tahun. Penelitian usia
naskah‑naskah tersebut, kini sedang dilakukan di sebuah laboratorium di Jepang.
Walaupun demikian, naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, sudah dapat
dikategorikan ke dalam Naskah Kuno. Naskah‑naskah tersebut ditulis dengan
tinta japaron, menggunakan aksara dan bahasa Kawi Jawa Kuno, gaya
Cirebon.
Edi S. Ekadjati dalam Katalog Induk
Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A, Jawa Barat Koleksi Lima Lernbaga (1999),
memperinci kondisi naskah‑naskah Pustaka Wangsakerta, di antaranya
sebagal berikut:
Judul Naskah, Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara.
Bahasa: Jawa Cirebon; aksara: Cacarakan; bentuk: Prosa;
bahan naskah: Dluwang; Sampul: kertas tebal terbungkus kaln blacu; tebal: 214
halaman, halaman yang ditulis: 213 halaman, 1 halaman kosong; tinta hitam,
tulisan umumnya masih terbaca.
Ukuran; sampul: 35,5 x 27,5 cm; halaman: 35,5 x 27,5 cm;
tulisan: 32 x 22 cm.
Penomoran halaman ada dengan angka
Cacarakan 1‑212 dan dua halaman tanpa nomor, yaitu halaman awal dan akhir.
Penulisan nomor halaman pada margin atas tengah.
Keadaan fisik umumnya masih baik dan
terpelihara. Kertas sangat kusam kehitam‑hitaman. Setiap lembar halaman
dibingkal garis ganda, dan penjilidan ketat sehingga apabila dibuka salah satu
permukaan halamannya melenting (Ekadjati,1999:187).
Dari naskah‑naskah yang terkumpul di
Museum Negeri Sri Baduga (Jawa Barat), ternyata ada empat macam seri sejarah
yang telah disusun oleh Pangeran Wangsakerta dan kawan‑kawan, yaitu:
1.
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara;
2.
Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa;
3.
Pustaka Nagara Kretabhumi;
4.
Pustaka Carita Parahiyangan.
Berkat ditemukannya Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa V sarga 5, yang berupa katalog
mengenal pustaka‑pustaka, dapat diketahui judul-judul seluruh naskah yang
pernah disusun Pangeran Wangsakerta. Baik dalam jaman pemerintahan Panembahan
Girilaya, maupun dalarn masa dirinya ketika menjadi Panembahan Cirebon.
Selain itu, dapat diketahui pula
judul-judul naskah yang pernah ditulis oleh Panembahan Losari (jaman Susuhunan
Jati) dan Pangeran Manis (jaman Panembahan Ratu). Katalog tersebut menampilkan
1703 judul naskah yang pernah ditulis di Keraton Cirebon, di antaranya 1218
judul berupa karya Pangeran Wangsakerta dan kawan‑kawan.
Naskah‑naskah tersebut mencakup berbagal bidang
pengetahuan, seperti misalnya sejarah, hukum, dan kesehatan. Bahasa naskah pun
sekurang-kurangnya mencakup bahasa‑bahasa Jawakuna, Melayukuna, Balikuna, dan
Sundakuna. Khazanah perpustakaan itu umumnya terdiri dan naskah lontar dan
prasasti (Ayatrohaedi,1985: 537).
Menurut
Pangeran Wangsakerta, di antara pustaka milik keraton Kasepuhan itu, ada juga
milik para Duta atau Mahakawi (Pujangga Besar; dari daerah lain, yang datang
bermusyawarah (mapulung rahi) di Cirebon dalam tahun 1599 Saka (1677 M).
Di antara mereka itu, banyak yang menghadiahkan naskah yang dibawanya, kepada
Sultan Cirebon. Tapi ada juga yang meminjamkannya untuk sementara, dan setelah
usai disalin atau dipelajari isinya, dibawa kembali ke negaranya. Hal yang
menarik misalnya naskah‑naskah karya Prapanca dibawa oleh Mahakawi utusan dari
Bali bukan oleh utusan dari Jawa Timur.
Ayatrohaedi menjelaskan dalam
tulisan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, pada buku Pertemuan
Ilmiah Arkeologi ke III, bahwa setiap jilid Pustaka
Wangsakerta, terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1.
Purwaka
2.
Uraian kisah sejarah dalam jilid yang bersangkutan
3.
Kolofon
Bagian purwaka, secara terperinci memberikan
keterangan yang berkaitan dengan; nama naskah, parwa dan sarga, penyusun,
sumber, alasan penyusunan, tujuan penyusunan, dan cara kerja yang lebih jauh
menguraikan tentang hal‑hal yang berkaitan dengan; pembentukan panitia,
pencarian sumber dan bahan, pengundangan nara sumber, penyelenggaraan sawala
dan penugasan sangga, dan penyelesaian masalah yang muncul dalam sawala. Bagian
inilah yang bersangkut paut dengan pertanggungjawaban ilmiah para penyusun.
Bagian kedua, merupakan uraian yang
lebih banyak menyita bagian terbesar dalam tiap jilid, karena berisi keterangan
kesejarahan yang sesuai dengan jilid yang bersangkutan. Sedangkan kolofon berisi
keterangan mengenai akhir penulisan jilid tersebut (Ayatrohaedi,1985: 530‑557).
III. Gotrasawala
Dari semua naskah yang telah terkumpul,
dapatlah diketahui bahwa untuk tiap-tiap Jilid, Pangeran Wangsakerta selalu
menyajikan kata pengantar yang berisi keterangan, tentang asal usul penulisnya
dan kadang‑kadang tentang siapa‑siapa yang ikut serta menyusunnya. Kata
pengantar itu kadang-kadang lebar, kadang‑kadang amat ringkas.
Dari kata pengantarnya itulah diketahui, bahwa dalam
tahun 1677 M, di Keraton Kasepuhan pernah diadakan mapulung rahi (silaturahmi
kekeluargaan) dan gotrauawala (musyawarah) Para Akhli Sejarah dari
Seluruh Nusantara. Musyawarah tersebut diadakan, atas permintaan Sultan
Kasepuhan dan Sultan Kanoman, untuk melaksanakan amanat Panembahan Girilaya
kepada Pangeran Wangsakerta, agar ia menyusun Sejarah Kerajaan‑kerajaan di
Nusantara (Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara). Pelaksanaannya,
mendapat restu dari Susuhunan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa) dan Susuhunan
Mataram (Amangkurat I).
Susunan
lengkap kepanitiaan gotrasawala (musyawarah) itu tertera dalam
kata pengantarnya, adalah sebagai berikut:
a. Penanggungjawab (tuan rumah): Sultan
Sepuh dan Sultan Anom
b. Ketua musyawarah (penulis): Pangeran
Wangsakerta
c. Penasehat:
1. Dharmadyaksa Karasulan (Ulama Islam) dari
Arab
2. Dharmadyaksa Kasewan (Ulama Hindu Siwa)
dari India
3. Dharmadyaksa Kawesnawan (Ulama Hindu
Wisnu) dari Jawa Timur
4. Dharmadyaksa Kasogatan (Ulama Budha) dari
Jawa Tengah
5. Dharmadyaksa Kong Pu Ce (Ulama Konghutsu)
dari Semarang.
d. Panitia Pelaksana, Jaksa Pepitu Cirebon,
yang terdiri dari:
1. Raksanagara: penulis naskah dan pengatur
pertemuan
2. Anggadiraksa: wakil penulis naskah dan
bendahara
3. Purbanagara: pengumpul dan penyeleksi
bahan naskah
4.
Singanagara: penanggungjawab keamanan
5.
Anggadipraja: duta keliling, undangan dan juru bahasa
6.
Anggaraksa penanggung jawab konsumsi
7.
Nayapati; penanggung jawab akomodasi dan angkutan
e. Para Peserta, utusan dari berbagai daerah
yang dibentuk menjadi 5 sangga (kelompok), yaitu:
Sangga I: Surabaya, Pasuruan,
Panarukan, Balambangan, Bali, Madura, Makasar, Banggawi, Maluku, Galiyao,
Seran, Lwah Gajah, Ambon, Gurun, Taliwang, Bantayan, Banten dan Palembang.
Sangga II: Mataram, Lasem, Tuban,
Wirasaba, Kediri, Semarang, Mojoagung, Bagelan, Dermayu, Losari, Brebes, Tegal,
Jepara, Mantingan dan Bonang
Sangga
III: Jayakarta, Demak, Kudus, Cirebon, Pasai, Geresik, Tanjungpura Karawang,
Cangkuang, Kuningan, Lamongan, Tembayat, Sedayu, Malaka, Barus, Tumasik, dan
Trengganu.
Sangga IV: Sumedang, Sukapura,
Parakan Muncang, Galunggung, Rancamaya, Ukur, Talaga, Sindangkasih, Galuh,
Kertabumi, Rajagaluh, Luragung, Imbanagara, Giri dan Sendang Duwur.
Sangga
V:
Jambi, Bangka, Perelak, Berunai, Lamuri, Kuta Lingga, Tanjung Kutai, Tanjung
Puri, Tanjung Nagara, Minangkabau, Kamperharwa (Mandailing) dan Siak.
f.
Pendengar (pangreungeu), dari negara tetangga yaitu: Mesir, Arab, India,
Sri Langka, Benggala, Campa, Cina, dan Ujung Mendini (Semenanjung Malaka).
Para pendengar ini hanya menyaksikan
musyawarah dan tidak mempunyai hak suara. Namun di antaranya, ada yang
memberikan naskah-naskah berupa piagam perjanjian negara mereka dengan Kompeni
Belanda. Tahap‑tahap pembahasan dan penulisan diatur sebagai berikut:
a. tiap anggota sangga harus menyusun
(menyajikan) sejarah daerahnya masingy‑masing yang isinya harus disepakati oleh
sidang sangga;
b.
hasil musyawarah dalam sangga harus dikemukakan dalam sidang
lengkap oleh seseorang paujar (juru bicara);
c.
dinilai kebenarannya oleh para penasihat;
d.
dinilai kecocokannya dengan isi pustaka yang telah diakui keabsahannya;
e.
setelah disepakati bersama, dibuat risalah resmi;
f.
dimintakan persetujuan (restu dari keempat sultan sponsor);
g.
dibukukan (pinustaka) oleh penyurat dengan tanggungjawab
Pangeran Wangsakerta (pekerjaan inilah yang memakan waktu 22 tahun lamanya).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ayatrohaedi (1985), bahwa naskah-naskah
Pustaka Wangsakerta, digarap berdasarkan sistematika dan organisasi, yang
secara taat asas dipegang oleh para penyusunnya.
IV.
CARA KERJA PANGERAN WANGSAKERTA
Gambaran umum tentang bagaimana cara
Pangeran Wangsakerta bekerja, dalam upaya menyusun naskah sejarah, dapat
dilihat dengan baik dalam kata pendahuluan yang disajikan dalam naskahnya
Sebagai contoh, dapat dikemukakan terjemahan kata pendahuluan dalam Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa IV sarga 1, yang terjemahannya
antara lain sebagai berikut:
Pada
saat menyusun naskah ini, demikian pula pada waktu menyusun pustaka‑pustaka
lainnya, aku senantiasa menemui kesulitan‑kesulitan yang menimbulkan beberapa
kesukaran. Sebabnya ialah ada beberapa mahakawi dan menteri‑menteri utusan yang
berbeda pendapat dalam mengutarakan sejarah negaranya masing‑masing mengenai:
kejayaannya, tahun pemerintahan raja‑rajanya, tahun berdirinya sesuatu
kerajaan, keturunan raja-rajanya, istri raja, meletusnya suatu pemberontakan,
tahun wafat raja dan banyak hal lagi.
Demikianlah misalnya mahakawi dari Jawa dan
mahakawi dari Sunda, lalu mahakawi dari Banten dan mahakawi dari Mataram dan
Cirebon saling berbeda dan saling bertentangan dalam pembicaraan mengenai
negaranya masing-masing. Demikian pula mahakawi dan Kudus dan Sumedang dengan
mahakawi dari Cirebon dan Pasai. Lalu mahakawi dari Sumatra dengan mahakawi
dari Jawa Timur. Terjadilah kericuhan yang nyaris mencetuskan pertentangan.
Hampir‑hampir tak ditemukan kisah sejarah yang sesungguhnya (kathekang tatwa).
Pertentangan timbul pula antara mahakawi
dari Jayakarta, Cirebon dan Banten dengan mahakawi dari Mataram. Demikian pula
mahakawi dari Makasar berselisih paham dengan mahakawi dari Mataram, Madura dan
Banten. Timbul pula pertentangan pendapat antara mahakawi dari Kutai dengan
utusan Palembang dan Ukur.
Namun lebih parah lagi keadaan dalam sidang
kelima kelompok para mahakawi dan menteri. Para peserta musyawarah saling
memarahi sehingga akhirnya timbul kericuhan. Hampir mereka itu berperang‑tanding
(madwanda yudha) dalam ruang sidang, terutama dalam saat-saat awal
penulisan naskah.
Adapun
para mahakawi utusan dari negeri seberang dan negeri asing hanyalah hadir
sebagai saksi. Tetapi mereka memberikan catatan, termasuk beberapa surat dari
Belanda yang ada di negaranya.
Juru
bicara (paujar) hanya ada lima orang yang harus mengutarakan kisah
sejarah yang sesungguhnya. Tetapi di antara mereka itu ada yang menyampaikan
pandangannya secara berlebih‑lebihan (wakrokti). Ada cerita yang
sesungguhnya tak pernah terjadi (niskarana), melainkan hanya hasil
pikiran khayal (cittanung maya) dan keliru (wiparita). Kisah
bualan seperti itu tidak diambil dan tidak dijadikan catatan.
Ada
yang melontarkan kata‑kata menghina dan tidak layak sampai hampir menimbulkan
kericuhan. Hanyalah karena aku telah cukup banyak mempelajari bermacam‑macam
pustaka tentang sejarah kerajaan‑kerajaan di Nusantara dan memiliki aneka macam
pustaka tentang kerajaan‑kerajaan akhirnya aku berhasil mengatasi mereka, dan
juga karena aku menjadi ketua mereka dalam musyawarah ini.
Karena itu aku menempuh jalan tengah. Walaupun begitu aku
senantiasa bermusyawarah dan berunding
lebih dahulu dengan mereka terus menerus, lebih‑lebih dengan para sesepuh,
mahakawi dan para duta kerajaan yang tinggi pengetahuannya (widyanipuna).
Dengan cara ini akhirnya mereka bersedia
mengutarakan kisah sejarah yang sebenarnya, tidak lagi dibuat‑buat. Tugas yang
aku hadapi tidak sulit lagi. Lagi pula mereka telah sepakat akan mengikuti
amanat Sultan Sepuh Cirebon. Mereka bersepakat sama‑sama mengharapkan hasil
sempurna dari karya besar ini yaitu: menyusun pustaka yang akan menjadi
tuntunan pengetahuan sejarah (panghulu widya ning katha), terutama bagi
semua penduduk dari segala lapisan (kanistamadyau mottama) dan lebih‑lebih
lagi untuk pustaka pegangan raja yang memerintah negara atau daerah.
Dalam beberapa hari aku berupaya
sekuat tenaga sampai akhirnya semua kesulitan dapat diatasi dan naskah yang
kami susun dapat disetujui seutuhnya. Walaupun demikian, maafkanlah seandainya
terdapat kekeliruan dalam penyusunan pustaka ini.
Lebih,dahulu aku berdoa kepada Hyang
Tunggal Yang Maha Kuasa: semoga selamat sentosa. Hindarkanlah kami dari
perbuatan dosa dan malapetaka. Hilangkanlah segala perbuatan jahat dan bahaya
perbuatan khianat yang akan merusak negara kami semua, dan semoga berikanlah
kesejahteraan kepada kami peserta musyawarah yang menyusun pustaka ini sebagai
bahan pengetahuan bagi masa yang akan datang dan masa kini (natgata wartanana), terutama sebagai
pengetahuan tentang raja‑raja beserta kerajaannya, agamanya, tanahnya dan
masyarakatnya dalam kehidupan di bumi Nusantara ini.
Pustaka ini hendaknya dijadikan tonggak
segala kisah, dan kami sama sekali tidak menyimpang dari kisah yang sebenarnya
karena hal itu telah merupakan hasil penelitian yang seksama mengenai
kebenarannya serta senantiasa akan berguna sebagai penuntun bagi masyarakat dan
segala lapisan sejak saat ini sampai masa yang akan datang.
Dalam jilid yang lain, kadang kadang ia
mempertaruhkan integritasnya sebagai keturunan Susuhunan Jati (Sunan Gunung
Jati) yang tidak boleh berbohong dalam membela keabsahan isi naskahnya. la pun
biasa menunjuk sumber‑sumber tertulis atau lisan, sebagai referensi dalam
penyusunan naskahnya, baik secara khusus maupun sambil lalu.
Patut disayangkan, bahwa Pangeran
Wangsakerta tidak menyebutkan tanggal dan bulan pelaksanaan silaturahmi dan
musyawarah para akhli sejarah se‑Nusantara di Cirebon itu. la hanya menyebutkan
tahun 1599 Saka yang bertepatan dengan tahun 1677 Masehi. Dalam naskah‑naskahnya
Pangeran Wangsakerta, selalu menggunakan sistem penanggalan Saka Hindu.
Dapat diketahui, bahwa Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parvva I sarga 1, selesai dibukukan pada
tanggal 1 bagian terang bulan Srawana tahun 1599 Saka (dengan sangkala: nawa
gapura marga raja). Tanggal tersebut,jatuh pada minggu pertama bulan Juli
tahun 1677 Masehi. Karena itu, maka Gotrasawala (musyawarah)
tersebut, diduga terjadi sebelum bulan Juli pada tahun itu juga
Melihat hasil musyawarah sebanyak yang
termuat dalam naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, ditambah dengan permasalahan
yang terjadi selama penyusunan, mungkin sekali musyawarah itu sendiri
dilangsungkan dalam kuartal pertama tahun 1677 Masehi. Penulisan naskah menjadi
pustaka, memang baru dilakukan kemudian, oleh Jaksa Pepitu, mungkin oleh
Raksanagara dan Anggadiraksa, yang menjadi penulis dan wakil penulis dalam
musyawarah. Dilihat dari gaya tulisannya, naskah‑naskah itu harus dikerjakan
oleh lebih dari satu orang.
Bila demikian halnya, musyawarah itu telah
berlangsung, sebelum Pangeran Mertawijaya dan Pangeran Kertawijaya dikukuhkan
menjadi pengganti ayahandanya, sebagai para penguasa Cirebon. Kedudukan sebagai
Panembahan Sepuh, dan Panembahan Anom, sebenarnya telah diperoleh sejak
Panembahan Girilaya wafat tahun 1662. Namun mereka tetap tidak diijinkan pulang
oleh Sunan Amangkurat I. Kemudian, terjadi penyerbuan Trunojoyo, sehingga Karta
ibukota Mataram, dapat direbutnya pada tanggal 12 Juli 1677.
Mereka kemudian dibebaskan di Kediri alas
desakan Sultan Ageng Tirtayasa. Pelantikan ketiga Penguasa Cirebon (Sultan
Kasepuhan, Sultan Kanoman, dan Panembahan Kacirebonan), berlangsung di Keraton
Surasowan Banten. Setelah itu, barulah mereka diantarkan pulang ke Cirebon.
Permasalahannya, adalah keterangan
Wangsakerta, yang pienyebutkan bahwa Sultan Sepuh memberikan amanat dalam
musyawarah tersebut, walaupun tidak dijelaskan, apakah amanat itu diberikan
secara lisan atau tertulis. Dalam kenyataannya, Pangeran Wangsakerta telah 17
tahun menjadi pemegang pemerintahan sehari‑hari, mewakili ayahnya 12 tahun
(1650-1662), ditambah 5 tahun masa vakum (kekosongan kekuasaan), karena kedua
kakaknya tetap berada di ibukota Mataram. Dengan demikian, ia tidak canggung
melaksanakan musyawarah tersebut, bahkan rumah tinggalnyapun berdekatan dengan
Keraton Kasepuhan. Sesungguhnya dialah yang menjadi tonggak musyawarah itu.
Di antara amanat Sultan Sepuh itu, adalah
pesan: supaya para peserta musyawarah berada dalam suasana persaudaraan dan
melupakan pertikaian di antara negara‑negara yang mewakilinya demi kesempurnaan
karya besar (karyagheng) yang mereka hadapi.
Dalam
kaitannya dengan alasan penyusunan, ada dua hal yang menarik. Alasan pertama,
ialah karena melihat kenyataan, bahwa pengetahuan yang dimiliki orang pada masa
itu masih lepas‑lepas (fragmen). Alasan kedua ialah, karena para penyusun
memperoleh tugas, dari orang yang sangat mereka hormati, yaitu:
1. Pangeran Rasmi yang bergelar Panembahan
Adiningratkusuma atau yang lebih dikenal sebagal Panembahan Girilaya, yaitu
ayah Pangeran Wangsakerta;
2.
Pangeran Abulfath Abdulfatah, yang lebih dikenal sebagai Sultan
Ageng Tirtayasa dari Banten; dan
3.
Pangeran Arya Prabhu Adi Mataram, yaitu Susuhunan Amangkurat I
dari Mataram.
Bagi Pangeran Wangsakerta dan para jaksa
Pepitu, musyawarah tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan mereka, yang
telah lama menekuni masalah sejarah Nusantara. Tahun 1676, Pangeran Wangsakerta
telah menyelesaikan terjemahan naskah Dharmakirti, hasil salinan
Pangeran Losari (1518 M) yang telah suram huruf‑hurufnya. Naskah inilah yang
disajikan sebagai sumber utama tentang riwayat pembentukan bumi serta isinya
termasuk kemunculan mahluk manusia setengah hewan sampai kepada kehadiran
manusia sempurna (manusapurna).
Ambahan atau luas jelajah kisah sejarah
yang ditampilkan oleh Pangeran Wangsakerta, meliputi karun waktu yang
disebutnya Purwayuga, yaitu sejak Nusantara dihuni oleh mahluk
manusia hewan (satwaprurusa). Secara runtut berlangsung, kira-kira
sejuta tahun sebelum tarikh Saka, sampai peristiwa perjanjian antara Cirebon
dengan VOC tahun 1681. Bahkan, waktu itu ia menyebutkan tokot-tokoh yang
dipusarakan di Giri Saptarengga, yaitu Gunung Sembung yang oleh umum disebut
makam Gunung Jati. Disana, pada salah sebuah nisan, tertulis Sultan Sepuh I
yang wafat tahun 1697.
Dari
naskah‑naskah yang terkumpul, baru dapat diketahui peristiwa-peristiwa dun
urutan pemerintahan raja‑raja, lengkap dengan tahun pemerintahamrya di beberapa
daerah yaitu: Perelak, Samudera Pasai, Sriwijaya, Tatar Sunda, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Banjarmasin dun Nusa Bali. Kita pun dapat menemukan kisah patriotik
Sultan Ageng Tirtayasa dari Kerajaan Islam Surasowan Banten, juga tokoh
Laksamana wanita Malahayati dari Kerajaan Aceh Darussalam, dun Patih Lambung
Mangkurat dari Kerajaan Banjar.
Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, dipaparkannya
sejak masa pemerintahan Darmawangsa. lengkap dengan mazhab yang dianut oleh
para penyiarnya. Juga ia menguraikan siapa sesungguhnya tokoh Fatimah binti
Maimun, yang kehadiran makamnya di Desa Leran, masih merupakan salah satu
misteri sejarah di Indonesia. Menurut pendapat Saleh Danasasmita (1984), dalam
beberapa hal, uraiannya tepat sejalan dengan isi prasasti yang telah dikenal.
Sedangkan beberapa hal lainnya, dapat dikatagorikan logis, dalam arti tidak
bertentangan dengan prasasti yang ada.
Ciri gaya penulisan umum dalam jamannya,
hanya tampak bila ia melukiskan kecantikan seorang wanita, atau melukiskan
peran dengan ungkapan yang hampir selalu sama. la menyisipkan kata
"meriam" sebagal peralatan perang pasukan Demak, saat mereka membantu
Cirebon berperang dengan Kerajaan Galuh di Palimanan, dekat Bukit Gempol tahun
1528.
Dalam ambahan sumber, Pangeran Wangsakerta pun sering
tertumbuk kepada perbedaan keterangan. Dalam hal yang demikian, ia berusaha
mengambil jalan tengah (kalap langkah tengah), dengan cara
mengkompromikannya. Bila hal itu tidak mungkin, maka ia menyajikan semua
keterangan menurut versinya musing-masing, dengan menyebutkan siapa yang
menjadi sumbernya.
V.
PANGERAN WANGSAKERTA
Saleh
Danasasmita, pada tahun 1986 telah berhasil mengidentifikasi Pangeran
Wangsakerta, melalui tulisan ilmiah Pangeran Wangsakerta. Sebagai Sejarawan
Abad XVII. Tulisan tersebut berupa makalah, pernah disampaikan dalam Seminar
Kebudayaan Sunda Proyek Sundanologi Depdikbud di Bandung, pada tanggal 9‑11 Maret
1986.
Menurut
Saleh Danasasmita, tokoh Pangeran Wangsakerta, nyaris tidak dikenal oleh umum.
Bahkan di lingkungan kerabat keraton Cirebon, ia hanya dikenal sebagai
Panembahan Cirebon I, tanpa nilai khusus, kecuali sebagai Asisten Sultan Sepuh.
Di gedung Arsip Nasional, tersimpan sebuah
dokumen, berupa naskah perjanjian antara Cirebon dengan Kompeni Belanda tanggal
7 Januari 1681. Dokumen tersebut ditulis dalam dua bahasa. Pada bagian kiri
berbahasa Melayu Arab, pada bagian kanan berbahasa Belanda dengan huruf latin.
Di bagian bawah naskah sebelah kiri,
terdapat 9 nama penandatangan perjanjian dari pihak Cirebon. Pada urutan
ketiga, tertulis nama Wangsakerta dalam huruf cacarakan. Dalam naskah tersebut,
dicantumkan dengan tegas, bahwa pemegang kekuasaan di Cirebon ada tiga orang,
termasuk Pangeran Wangsakerta di antaranya. Berdasarkan dokumen tersebut dapat
dipastikan, bahwa tokoh Pangeran Wangsakerta, sebagal salah seorang penguasa
Cirebon, dalam pertengahan kedua abad ke‑17, ternyata benar-benar ada.
Dr.
F. de Haan dalam buku Priangan II (1912), membicarakan tokoh Pangeran
Wangsakerta dengan sebutan Depati Topati. Dalam sumber Kompeni lainnya, ia
lebih dikenal sebagai de derde Prins van Cheribon (Pangeran
yang ketiga dari Cirebon).
Catatan Harian Kompeni, Daggh Register geharden
int Casteel Batavia: 19 November 1677 memuat laporan Caeff (wakil Kompeni
di Banten), yang memberitakan: bahwa de derde Prins baru saja
kembali ke Cirebon dari kunjungannya ke keraton Banten. Namun dalam Dagh
Register 21 Desember 1677 Caeff melaporkan, bahwa berita tersebut
"tidak benar". Karena kesal, De Haan mengumpat Caeff; Di mana orang
itu menaruh matanya? (War zijne oogen gehad?).
Mengenai hubungan antara Pangeran
Wangsakerta dengan kerabat keraton Banten, De Haan (1912, 260 paragraf 425)
mengutip laporan B. van der Meer dan Jan Mulder, bahwa Sultan Anom masih
terhitung kerabat keraton Banten. Sedangkan Dipati Topati, sama sekali bukan.
Di lingkungan terbatas kerabat keraton,
dikenal adanya sebuah naskah wawacan, dikisahkan bahwa Pangeran Kertawijaya
(Sultan Anom) berbeda ibu dengan Pangeran Mertawijaya (Sultan Sepuh) dan
Pangeran Wangsakerta. Ibunda Pangeran Kertawijaya berasal dari Banten,
sedangkan Ibunda kedua orang saudaranya berasal dari Mataram. Kekisruhan
tersebut menunjukkan bahwa riwayat hidup Pangeran Wangsakerta, termasuk
kedudukannya di Cirebon, masih sangat kabur.
Untuk menjernihkan kekisruhan tersebut,
kita perhatikan keterangan dari Pangeran Wangsakerta sendiri, dalam naskah
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 4 (Halaman 86-88) yang terjemahannya
sebagai berikut:
Telah dikisahkan terdahulu bahwa Puteri Ratu Ayu Sakluh
berjodoh dengan Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Mataram. Dari
perkawinan tersebut, lahir Sunan Tegalwangi yaitu Amangkurat yang pertama.
Sunan Tegalwangi berputera Amangkurat kedua yang kemudian menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai Penguasa Mataram. Puteri Sunan Tegalwangi berjodoh
dengan Pangeran Putra yaitu Panembahan Girilaya putra Pangeran Seda ing Gayam.
Dari puteri Mataram, Panembahan Girilaya
berputra tiga, yaitu: Pangeran Mertawijaya alias Pangeran Samsudin yang menjadi
Sultan Kasepuhan pertama, adiknya. Pangeran Kertawijaya alias Pangeran Badridin
yang menjadi Sultan Kanoman pertama, dan adiknya yang bungsu yaitu Pangeran
Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon pertama.
Karena Ratu Ayu Sakluh itu kakak Panembahan Ratu, maka
raja Cirebon dengan raja Mataram masih berkerabat. Tapi raja Matararn, Sunan
Tegalwangi, senantiasa ingin merebut Cirebon. Sementara itu raja Cirebon juga
berkerabat dengan raja Banten padahal Banten dengan Mataram selalu bermusuhan.
Adapun awal pembentukan Kasepuhan dan
Kanoman, pada tahun 1599 Saka (1677 M). Empat tahun kemudian, Cirebon
mengadakan perjanjian persahabatan (mitranan) dengan Kompeni Belanda.
Yang menandatangani surat perjanjian ink yaitu: Sultan Kasepuhan yang pertama
Pangeran Samsudin Mertawijaya, Sultan Kanoman pertama Pangeran Badridin
Kertawijaya, kemudian semua pejabat tinggi negeri Cirebon yang disebut jaksa
Pepitu, yaitu: Panembahan Ageng Gusti Cirebon yaitu Pangeran Wangsakerta dan
para jaksa Pepitu masing-masing: Raksanagara, Purbanagara, Anggadireksa,
Anggadiprana, Anggaraksa, Singanagara, dan Nayapati. Sang Panembahan (Pangeran
Wangsakerta) adalah ketua dari jaksa Pepitu itu.
Penandatangan dari pihak Kompeni
Belanda adalah: Yakub Bule (Jakob van Dijk) dan Kapitan Misel (Michielsz).
Peristiwa itu berlangsung di keraton Kasepuhan.
Setelah Panembahan Ratu wafat, ia digantikan oleh
cucunya yaitu Raden Putra alias Raden Rasmi yang kemudian disebut Pangeran
Panembahan Adining Kusuma. la bergelar Panembahan Ratu II putera Pangeran Seda
ing Gayam, yang wafat ketika ayahnya yaitu Panembahan Ratu I masih hidup.
Panembahan Adining Kusuma menjadi penguasa Cirebon selama 12 tahun. Setelah
wafat, Pangeran Raden Putra disebut Pangeran Panembahan Girilaya.
Selama menjadi penguasa Cirebon ia selalu
berada di Mataram bersama kedua orang putranya yaitu: Pangeran Samsudin
Mertawijaya dan Pangeran Badridin Kertawijaya. Adapun putra Pangeran Panembahan
Girilaya yang ketiga tinggal di keraton Cirebon mewakili ayahnya.
Setelah Pangeran Panembahan Girilaya wafat,
Pangeran Samsudin Mertawijaya ditunjuk menjadi Panembahan Sepuh kemudian
disebut Sultan Kasepuhan pertama, adiknya, Pangeran Badridin Kertawijaya
ditunjuk menjadi Panembahan Anom kemudian disebut Sultan Kanoman pertama dan
adiknya, Pangeran Wangsakerta ditunjuk menjadi sultan ketiga dengan gelar
Panembahan Cirebon.
Pada waktu itu tiga negara ingin menguasai Cirebon yaitu:
Banten, Mataram dan Belanda, padahal para sultan menghendaki negaranya merdeka.
Sementara itu raja Mataram, Susuhunan Amangkurat pertama sedang bermusuhan
dengan Trunojoyo yaitu putra Adipati Madura Pangeran Cakraningrat.
Tentara Madura yang dipimpin oleh
Trunojoyo bergabung dengan tentara Makasar yang dikepalai Kraeng Galesung dan
Monte Marano. Dalam pertempuran di berbagai daerah, tentara Mataram selalu
menderita kekalahan. Tak lama kemudian tentara Madura dan tentara Makasar
berhasil merebut Karta ibukota Mataram. Susuhunan Amangkurat dan putranya,
Pangeran Dipati Anom beserta para pengiringnya melarikan diri ke arah barat.
Kemudian Sunan Mataram wafat di Tegalwangi. Karena itulah Susuhunan Amangkurat
pertama digelari Susuhunan Tegalwangi. Setelah itu putranya, Pangeran Dipati
Anom, menggantikan ayahnya menjadi Susuhunan Amangkurat kedua.
Ketika Ibukota Mataram direbut oleh tentara
Madura dan Makasar, Panembahan Sepuh Samsudin Mertawijaya dan Panembahan Anom
Cirebon berada di sana. Mereka ditawan oleh Trunojoyo lalu dibawa ke Kediri.
Juga Ratu Blitar serta beberapa kaulanya tertangkap oleh Trunojoyo dan dibawa
ke Kediri. Di sana para pangeran dari Cirebon bersama Ratu Blitar mendapat
perlakuan hormat dari Trunojoyo.
Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon,
yaitu aku sendiri, ingin membebaskan kakakku dari bencana tersebut. Karena itu
aku beserta rombongan para pejabat tinggi pergi ke Banten. Dengan
sungguh-sungguh aku memohon bantuan kepada Sultan Ageng Tirtayasa Banten agar
ia berusaha membebaskan kakakku karena Sultan Banten masih kerabatku.
Kemudian anggota rombonganku bersama
tentara Banten pergi naik kapal perang Banten menuju Jawa Timur dan selanjutnya
ke Kediri. Trunojoyo dikirim surat oleh Sultan Banten yang berisi permintaan
agar para pangeran dari Cirebon beserta pengiringnya dibebaskan. Bersamaan
dengan itu Sultan Banten memberikan hadiah dan bantuan berupa senjata kepada
Trunojoyo karena Sultan Banten bersekutu dengan Trunojoyo dalam permusuhan
mereka terhadap Mataram dan Belanda. Penguasa Banten menyampaikan rasa suka
citanya karena Trunojoyo berhasil merebut ibukota Mataram.
Pangeran Madura itu bersikap hormat kepada
anggota rombongan utusanku dan menjamu dengan bermacam‑macam hidangan yang
serba lezat. Akhirnya Panembahan Sepuh, Panembahan Anom beserta pengiringnya
demikian juga Ratu Blitar dibebaskan oleh Trunojoyo.
Setelah itu anggota rombonganku membawa
kakakku dan Ratu Blitar ke Banten. Di sana Sultan Ageng Banten menerima
kedatangan rombonganku bersama Panembahan Sepuh dan Panembahan Anom Cirebon.
Lalu
Sultan Banten mewisuda kami, Pangeran Samsudin Mertawiijaya ditunjuk menjadi
Sultan Sepuh yang kemudian disebut Sultan Kasepuhan, Pangeran Badridin
Kertawrijaya ditunjuk menjadi Sultan Anom yang kemudian disebut Sultan Kanoman
dan Pangeran Wangsakerta ditunjuk menjadi Sultan ketiga dengan sebutan
Panembahan Ageng Gusti Cirebon alias Panembahan Tohpati atau Abdul Kamil
Mohammad Nasarudin namanya yang lain.
Setelah itu kami pulang ke Cirebon
dan Sultan Banten meminta agar kami memusuhi Mataram dan Belanda. Sejak
saat itulah berdiri Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman dan Panembahan
Cirebon.
Kutipan
di atas, merupakan kisah yang dialami sendiri oleh Pangeran Wangsakerta,
sehingga dapat menghapus segala kekisruhan, akibat bermacam‑macam dugaan yang
ditulis pada masa kemudian.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar