A. SABAKINGKIN ALIAS HASANUDDIN
Dalam disertasi Sadjarah Banten Hoesein Djajadiningrat
(1913), sebutan Sorasowan, adalah gelar untuk Maulana Hasanuddin:
Hasanuddin,
atas usul orang tuanya, dinobatkan menjadi raja dengan gelar Panembahan
Sorasowan, dan kembali bersama pengantinnya ke Banten (Djajadiningrat,1983:
35).
Walaupun Sorasowan digunakan untuk nama
gelar, karena mengikuti sebutan Panembahan di depannya, terkesan Surasowan di
sana, menunjukkan kata benda atau keterangan tempat.
Hal yang hampir sama, dikemukakan oleh
Tubagus Haji Achmad (1935), dalam buku Pakern Banten, antara
lain:
Maulana
Hasanoeddin di Demak dirajakan sekali lagi disaksikan oleh Pangeran‑Pangeran
karena penerima kasih semoeanja mendapat gelaran Panembahan Ratoe Soerasoan.
Soera artinja berani, Soan atau Sadji artinja Radja. Soerasoan berarti Radja
jang berani (Achrnad,1935: 60‑61).
Sorasowan atau Soerasowan (Surasowan),
tetap berfungsi sebagai kata keterangan benda, bagi kata yang ada di depannya.
Saleh Danasasmita
(1984), dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam
Sejarah Jawa Barat juga
membahas Surasowan sebagai kata benda, antara lain:
Salah
satu penerus kekuasaan setelah Pajajaran burak ialah kerajaan Surasowan di
Banten. Dalam sebuah prasasti tembaga berhuruf Arab yang dikeluarkan oleh
Sultan Abdul Nazar (1671‑1687), nama resmi yang digunakan adalah Negeri
Surasowan. Surasowan adalah nama keraton Banten yang dibangun oleh Panembahan
Hasanudin. Dari nama keraton itu tampak bahwa secara tradisional ia mengikuti
kebiasaan para raja pendahulunya. Kita ketahui bahwa nama keraton di Kawali
adalah Surawisesa dan keraton induk di Pakuan diberi nama Suradipati. Juga
istana di Jayakarta kemudian mempunyai nama Surakarta. Berdasarkan gejala itu,
Ten Dam (1957) pernah menyatakan bahwa predikat "Sara" merupakan nama
"resmi" keraton keraton Sunda (Danasasmita,1984:44).
Sorasowan dan Surasowan
sebagai nama sebutan gelar, atau Surasowan sebagai nama sebutan negeri, bahkan
ada pula yang menulisnya dengan Surosowan, semua itu menarik untuk dikaji. Mana
sebutan yang paling tepat: Sorasowan, Surasowan, atau Surosowan?
Hal tersebut, terjadi
pula pada sebutan kerajaan Islam di Cirebon. Pada mulanya, Pakungwati adalah
nama orang, puterinya Pangeran Cakrabuana, pendiri kerajaan Islam di Cirebon.
Kemudian digunakan sebagai nama keraton, yang dibangun di Dukuh Cirebon,
menjadi Keraton Pakungwati. Selanjumya berkembang, menjadi sebutan negeri atau
negata: Kesultanan Pakungwati Cirebon. Pada akhirnya berubah sebutan lagi,
menjadi Kesultanan Cirebon. Pakungwati sebagai nama orang, Pakungwati sebagai nama
keraton, Pakungwati sebagai nama kesultanan, teknis penulisannya tetap lama:
Pakungwati.
Agar tidak terjadi
kesalah‑pahaman dalam teknis penulisan: Sorasowan, Surasowan dan Surosowan,
sudah tentu harus dicari pembandingnya.
Dalam kajian filologi Carita
Parahiyangan sarga 3,
Karya Tim Pimpinan Pangeran Wangsakerta, Atja & Edi S. Ekadjati (1989)
mengungkapkan sebagai berikut:
Dalam pernikahan Dewi Mayang Sunda
dengan Sri Baduga Ratudewata, berputera beberapa orang, dua orang di antaranya:
1.
Prabu Surawisesa;
2.
Sang Surasowan, menjadi bupati Banten Pasisir. (Atja &
Ekadjati,1989:144 dan 153).
Dari kutipan tersebut di atas, teka‑teki
tentang sebutan Surasowan yang sering dikemukakan, mulai menampakkan cercah‑cercah
sinar terang. Jadi dari puteri Kentring Manik Mayang Sunda (puterinya Prabu
Susuktunggal), Sri Baduga Maharaja mempunyai dua putera; Prabu Sanghiyang
Surawisesa dan Sang Surasowan.
Sebagai putera Sri
Baduga Maharaja, juga sebagai Adipati (raja daerah) di Banten Pasisir, Sang Surasowan
berkuasa atas pelabuhan perdagangan laut, dan mampu mendirikan keraton yang
memadai.
Sang
Surasowan mempunyai dua orang putera, antara lain ialah;
1.
Sang Arya Surajaya; dan
2.
Nyai Kawunganten.
Sebagaimana yang dikemukakan dalarn naskah Pustaka
Pararatwan i Bhumijawadwipa parwa
I sarga 4 halaman 34, pada masa pemerintahan Sang Surasowan di Banten Pasisir,
Islam sudah mulai bersemi.
satuluynya a-
li rakmatullah umareng Ja-
wa dwipa mandeg sawatareng
bantennagari // riking sang ali
mawarawarahaknagarni rasu-
l ring janrnapada // datan lawas pa-
ntara ning rasika lungha ring
jawa wetan anjuju-
g wwang pasanak ireng wilwati-
kta kedatwan /
Terjemahannya:
Selanjutnya
Ali Rakhmatullah pindah ke Pulau Jawa , singgah sebentar di Negeri Banten. Di
sana Ali Raktmratullah mengajarkan agama Rasul (Islam) kepada penduduk. Tidak
berapa lama dia berangkat menuju ke Jawa Timur untuk menemui saudaranya
di Keraton Majapahit.
Sebagaimana buyut dan
ayahnya (Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja), Sang
Surasowan bertindak adil dan bijaksana terhadap pemeluk agama Islam. Atas
seijin Sang Surasowan, dalam waktu yang relatif singkat, Islam yang diajarkan
Ali Rakhmatullah, banyak mendapat simpati dari penduduk. Masyarakat Banten
Pasisir banyak yang menjadi murid Ali Rakhmatullah. Kelak, di kemudian hari,
masyarakat Banten Pasisir masih tetap mengenang dan menghormati jasa Ali
Rakhmatullah, dengan memberi gelar Tubagus Rakhmat.
Sepeninggal Ali
Rakhmatullah, kerinduan masyarakat Banten Pasisir terhadap ajaran Islam,
terobati dengan kehadiran Syarif Hidayat, yang singgah di Negeri Banten sesudah
singgah di Pasai (Sumatera).
tumuluy ring jaxuadunpa ma-
ndeg ing bantennagari// ngke janma-
pacda akweh ikang meku-
lagama rasul/ mapan pa-
warahmarahan ira sayid rakhma-
t sakeng ngampel ghading
ya namasyidam susuhunan a-
mpel juga wwang pasanak ira //
Terjemahannya:
Selanjutnya,
di Pulau Jawa singgah di negeri Banten. Di sana banyak penduduk yang
sudah memeluk agama Islam. Karena berkat binaan Sayid Rakhmat (Ali
Rakhmatullah) dari Ampel Gading yang bergelar Susuhunan Ampel, yang terhitung
masih saudaranya juga
Sang Surasowan menyambut baik kehadiran
Syarif Hidayat di negerinya. Apalagi setelah diketahui, bahwa Syarif Hidayat
itu putera Larasantang, cucu Sri Baduga Maharaja, masih saudaranya juga. Dalam
waktu yang relatif singkat, Syarif Hidayat mendapat simpati dan dihormati oleh
masyarakat Banten Pasisir. Untuk mempererat kekerabatan, Syarif Hidayat
berjodoh dengan Nyai Kawung Anten, puterinya Sang Surasowan.
Dari pernikahan Nyai
Kawung Anten dengan Syarif Hidayat, pada tahun 1478 Masehi, Sang Surasowan
mempunyai cucu laki‑laki. Oleh Sang Surasowan, bayi laki‑laki itu diberi nama
Sabakingkin. Oleh Syarif Hidayat, diberi nama Hasanuddin.
Sesunguhnya, riwayat
legalitas Sabakingkin (Hasanuddin) sebagai putera Syarif Hidayat, sudah banyak
terkisahkan dalam naskah‑naskah yang lebih muda. Hanya saja, para penulis
Babad, lebih mengutamakan bumbu daya pikat sastranya, dari pada substansi
historisnya.
Dalam Sajarah Banten
Hoesein Djajadiningrat (1913), tentang "orang tua" Hasanuddin,
dikisahkan sebagai berikut:
Diceritakan
sekarang tentang seorang yang keramat, yang bapaknya berasal dari Yamani dan
ibunya dari Banisrail. Dari Mandarsah ia datang di Jawa , yaitu Pakungwati,
untuk meng-Islam‑kan daerah ini. la mempunyai dua orang anak; seorang perempuan
(yang tua), dan seorang laki-laki bernama Molana Hasanuddin. Dengan anaknya
yang laki‑laki ia berangkat ke arah barat, tiba di Banten Girang, lalu terus ke
selatan, ke Gunung Pulosari (Djajadiningrat, 1983: 33).
Tentang "seorang
yang keramat, yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Banisrail,
kemudian dijelaskan, bahwa "seorang yang keramat" itu, dari Mandarsah
ia datang di Jawa, yaitu Pakungwati, untuk meng‑Islamkan daerah ini. Secara
tersamar, penulis Babad Banten yang dibahas Hoesein Djajadiningrat, nampak
ingin meriwayatkan orang tua Hasanuddin. Akan tetapi, pengetahuan penulis Babad
Banten tentang silsilah Syarif Hidayat, sangat terbatas. Sehingga sebutan
"orang yang keramat" itulah yang muncul, untuk menyatakan bahwa orang
tua Hasanuddin adalah "tokoh penting".
Dalam Pakem Banten
Tubagus Haji Achmad (1935), legalitas Hasanuddul sebagai putera Syarif Hidayat,
dikemukakan antara lain sebagai berikut:
Maka
terseboetlah pada masa dahoeloe, koerang lebih hidjrah Nabi 887, tahoen Belanda
k.l. 1472, Maulana Machdoem Sarif Hidajatoellah, Kangdjeng Soenan Goenoeng
Djati di Tjirebon, mengoetoes anakda Baginda Pangeran Hasanoeddin, soepaja
datang ke negeri Banten, pertama disoeroeh menjebarkan agama Islam, kedoea
mena'loekkan radja-radja di Banten, karena telah diketahoeinja bahwa Pangeran
Hasanoeddin lajak dan pantas, akan bisa mentjapai maksoed hingga mendjadi Radja
di Banten kelak sampai ketoeroen‑toeroenannja (Achmad,1953: 24).
Pakem Banten, menurut
penyusunnya Tubagus Haji Achmad, menggunakan sumber "Parimbon Banten, yang
hampir malah sudah musnah, karena dilalaikan oleh yang dipusakainya".
Berdasarkan kutipan tersebut di atas, para penulis Parimbon Banten, cukup
menjelaskan posisi Hasanuddin sebagai putera Syarif Hidayat. Hanya saja, pada
kalimat selanjutnya, terjadi "plot less" (simpang siur) siapa yang
mempunyai peranan penting, dalam proses meng-Islam‑kan Banten. Sebagaimana
umumnya penulis Babad Banten, "raja-raja Banten non Islam" selalu
diperankan sebagai antagonis (peran lawan), untuk menonjolkan semangat
penyebaran Islam di kemudian hari. Sedangkan, kekerabatan Sang Surasowan dengan
Syarif Hidayat, sangat gelap (peteng), tidak terjangkau oleh pengetahuan para
penulis babad.
Berdasarkan kaol Cibeber, yang berhasil dirangkum dan didokumentasikan oleh
Yayasan Ujung Wahanten (1996), mengemukakan hal yang sama, antara lain:
Pada
abad 15, disaat Kg. Maulana Hasanudin pertama kali masuk ke Negri Banten,
dimana pada waktu itu rakyat Negri Banten masih menganut agama kepercayaan
Animisme dan masih di pimpin oleh Kerajaan Pajajaran dan Pakuan, Kg. Maulana
Hasanudin berhasil menaklukan raja‑raja Pajajaran dan Pakuan berserta rakyat
dan pengikutnya, maka Kg. Maulana Hasanudin di tantang mengadu kekuatan
kesaktian oleh salah seorang sesepuh di Negri Banten yang bernama Pucuk Umun,
di Tegal Papak Waringin Kurung Banten. Kg. Maulana Hasanudin adalah putra pertama
Seh Syarif Hidayatullah seorang ahli yang menurunkan raja‑raja di Cirebon,
Banten dan Demak. Sang Ayah tinggal di Gunung Jati Cirebon yang kemudian
dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Mengenal Hasanuddin sebagai putera Syarif
Hidayat, sudah tidak diragukan lagi. Akan tetapi, pernyataan selanjutnya,
"pada waktu itu rakyat Negri Banten masih menganut agama kepercayaan
Animisme dan masih di pimpin oleh Kerajaan Pajajaran dan Pakuan", patut
dicermati. Kerajaan Pajajaran serta Pakuan‑nya, kembali disudutkan ke dalam
peran antagonis. Tuduhan terhadap Pajajaran menganut "agama kepercayaan
Anirnisme", tidak mendasar. Adanya acuan naskah kuna Sanghiyang
Siksakandang Karesian, Amanat Dari Galunggung, Carita
Parahiyangan, dan Agama Sunda Wiwitan di "Baduy", sudah cukup
memberikan gambaran agama orang Sunda Pajajaran. Tuduhan Animisme, seharusnya
dialamatkan kepada Manusia Purba, jauh sebelum Kerajaan Sunda Pajajaran
berdiri.
Dalam Riwayat Kesultanan Banten Th. Hafidz
Rafiuddin, S.Ag. (2000), mengemukakan hal yang hampir sama, antara lain sebagai
berikut:
Pada
kenyataannya sebelum Sulthan Maulana Hasanuddin ditugaskan oleh Ayahandanya
Syarif Hidayatullah untuk mengembangkan Islam di Banten, pada waktu itu
masyarakat Banten yang dipimpin oleh Raja Saka Domas (Pucuk Umun) dibantu oleh
Maha patihnya Ajar jong dan Ajar jo sebagal pemeluk Animisme.
Maulana Hasanuddin. Dilahirkan pada tahun
1479 di Cirebon dan wafat pada tahun 1570 di Banten. Pada 1525 Maulana
Hasanuddin mengIslarnkan Banten Utara secara berangsur‑angsur, yang tidak masuk
Islam mengungsi ke Parahiyangan (Cibeo/Kanekes Banten) (Rafiuddin, 2000: i
& 9).
Dengan adanya hal‑hal
semacam itu, sulitlah bagi kita untuk menentukan, apa sesungguhnya agama orang
Pajajaran itu. Carita Parahiyangan menunjukkan adanya para wiku "nu
ngawakan Jati Sunda", yaitu para pendeta yang khusus mengamalkan
"agama Sunda" dan memelihara "kabuyutan parahiyang". Sisa
dari kabuyutan Jati Sunda atau parahiyang seperti itu, adalah Mandala Kanekes yang
dihuni "orang Baduy" sekarang. Leluhur mereka dalam jaman kerajaan,
mengemban tugas memelihara mandala atau kabuyutan `Jati Sunda", yang
dewasa ini disebut Sasaka Domas.
Orang Tangtu ("Baduy dalam")
adalah keturunan "Para Wiku", orang panamping ("Baduy Luar)
merupakan keturunan "Kaum Sangga". Mereka bertugas, melakukan
"Tapa di Mandala", dan sudah menjalankan tugas tersebut secara turun
temurun. Jauh sejak masa sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri (Danasasmita,1984:
41).
Bangunan megalit Kosala
dan Arca Domas memperlihatkan adanya hubungan dengan orang‑orang Baduy yang
kini hidup mengisolir diri di daerah Banten Selatan. Monumen‑monumennya berupa
bangunan batu berundak lima tingkat, dan pada setiap undak terdapat menhir
(Soejono et al., 1984: 219). Dalam kompleks tersebut dijumpai batu berbentuk
segi lima, di bagian bawah yang tertanam dalam tanah terdapat sejumlah batu
bulat bergaris tengah antara 10-15 cm.
Di situs ini pula
terdapat arca kecil melukiskan tokoh yang duduk bersila, ditemukan dekat
bangunan berundak. Kedua tangan arca ini digambarkan dilipat ke depan, dan
salah satu tangannya mengacungkan ibujari. Arca Domas memiliki 13 undakan batu,
dan undak paling atas didirikan sebuah menhir berukuran besar. Menurut
kepercayaan orang Baduy, menhir ini merupakan lambang dari Batara Tunggal sang
pencipta roh, dan kepadanya pula roh‑roh tersebut kembali.
Peninggalan
megalit Lebak Sibedug berupa bangunan berundak empat, yang seluruhnya setinggi
6 meter. Di depan undakan batu ini terdapat lahan datar dan di sini pula
terdapat sebuah menhir yang ditunjang batu-batu berukuran kecil.
Bangunan berundak
di Kosala, Arca Domas dan Lebak Sibedug tersebut, masih dipuja dan
dikeramatkan, dan karenanya bangunan‑bangunan megalit di Banten Selatan ini
termasuk kategori living megalithic culture,
yang berarti benda‑benda arkeologi/megalit yang masih berada dalam konteks
sistem perilaku pendukungnya (Michrob,1993: 27).
Kembali kepada
proses Islamisasi di Banten, dalam Carita Parahiyangan sarga 3, Atja dan Edi S.
Ekadjati mengemukakan riwayat selanjutnya, antara lain sebagai berikut:
Dari
isteri kedua, Sri Baduga Maharaja berputera beberapa orang, dua orang di
antaranya: (1) Dipati Suranggana, menjadi ratu wilayah Wahanten Girang. Dia
kemudian memeluk agama Islam, dan berganti nama menjadi Ki Bagus Molana. Anak
menantu dan hamba sahayanya, menjadi pemeluk agama Islam; (2) Tumenggung
Jayamanggala, menjadi adipati Pakuan (Atja & Ekadjati,1989 :144).
Dari kutipan tersebut
di atas, nampak sekali tidak ada istilah "pemaksaan",
"dipaksa", "takluk" atau "ditaklukkan",
sebagaimana yang sering diungkapkan oleh para penulis Babad maupun
"penulis sejarah" Banten masa kini. Dipati Suranggana alias Ki Bagus
Molana, anak, menantu, serta hamba sahayanya, dengan ikhlas "beralih
agama", sebagai penganut agama Rasul Muhammad. Dialah putera Sri Baduga
Maharaja, pembesar Pajajaran kedua yang memeluk agama Islam, setelah Pangeran
Cakrabuana (Cirebon).
Dari bahasan Atja & Edi S. Ekadjati,
diketemukan dua sebutan: "Banten Pasisir" dan "Wahanten
Girang". Boleh jadi, memang ada perbedaan antara sebutan Banten Pasisir
dengan Wahanten Girang. Akan tetapi, sebutan wahanten menjadi banten, maksudnya
itu‑itu juga, hanya pelafalan yang berbeda.
Hal tersebut
mengingatkan kembali kepada berita Cina (1430 Masehi), tentang Kerajaan Sunda
dan Bantennya, bahwa "Banten dinamakan Sunda selama empat abad berturut‑turut,
baik oleh orang Cina, maupun oleh orang Arab pada awal abad ke‑16. Hendaknya
digarisbawahi, bahwa dalam naskah inilah (berita Cina) nama tempat
"Banten" (wan‑tan), muncul untuk pertama kali dalam sumber tulisan,
apapun bahasanya (Guillot,1996:119).
Portugis pun melakukan
hal yang sama, menyebut "Wahanten" dengan "Bantam". Secara
lingual, sebutan "wantan" dalam lafal Cina, bunyinya hampir sama
dengan "bantam" dalam lafal Portugis. Jika terdapat perubahan lafal,
dapat dimaklumi, karena Wahanten Pasisir sudah menjadi "pelabuhan
internasional".
Mecermati fakta seperti
itu, para penafsir sejarah tidak usah dipusingkan untuk mencari-cari dan
mengada‑ada Banten melalui bahasa kirata (dikira‑kira, tapi nyata). Sungai yang
mengalir sepanjang kurang‑lebih 30 kilometer, dari hulu Gunung Karang
Pandeglang, berkelok melalui wilayah Banten Girang, membelah kota Serang, dan
bermuara di Banten Pasisir, sudah merupakan petunjuk tersendiri. Bahwa,
penamaan "Wahanten" Girang dan "Wahanten" Pasisir, tentunya
berdasarkan nama sungai "Ciwahanten" yang mengalir melaluinya.
Gambaran semakin jelas.
Di masa Kerajaan Sunda (Pajajaran), terdapat dua negeri Wahanten. Wahanten
Girang dipegang oleh putera Sri Baduga Maharaja, Sang Adipati Surangggana;
Wahanten Pasisir dipegang oleh putera Sri Baduga Maharaja lainnya, Sang Adipati
Surasowan. Oleh karena itu, dalam kajian ilmiah, perbedaan anggapan
"Banten Lama" untuk Banten Girang, dan "Banten Baru" untuk
Banten Pasisir, sudah tidak tepat lagi. Sebab, antara Wahanten Girang dan
Wahanten Pasisir, kedua‑duanya sejaman.
Kembali kepada tokoh
Sang Surasowan, ayahanda Nyai Kawung Anten, mertua Syekh Syarif Hidayat,
kakeknya Pangeran Sabakingkin atau Maulana Hasanuddin. Ketika Sang Surasowan
wafat, dalam usia terhitung masih muda, tahtanya diwariskan kepada puteranya,
Sang Arya Surajaya.
Pada masa pemerintahan Sang Arya Surajaya
di Wahanten Pasisir, Syarif Hidayat sudah menjadi penguasa kedua, di Kesultanan
Pakungwati Cirebon. Oleh karena itu, Sabakingkin atau Hasanuddin, menjadi
penerus ayahnya, menjadi Guru Agama Islam di Wahanten Pasisir. Pada waktu itu,
Pangeran Sabakingkin, lebih dikenal dengan sebutan Syekh Maulana Hasanuddin.
Ketenaran nama Syekh
Maulana Hasanuddin, telah mengalahkan kharisma uwanya, Adipati Arya Surajaya.
Sehingga, hubungan kekerabatan dengan uwanya itu, menjadi tidak harmonis lagi.
Ketika menjadi penyiar agama Islam di
Wahanten Pasisir, Syekh Maulana Hasanuddin menikah dengan puteri raja
Indrapura, serta memperoleh putera laki‑laki, diberi nama Yusuf.
Untuk jaringan politik,
antara Kesultanan Pakungwati Cirebon dengan Kesultanan Demak, Syekh Maulana
Hasanuddin berjodoh dengan Ratu Ayu Kirana (Ratu Mas Purnamasidi), puteri
sulung Raden Patah. Dari perkawinannya, lahir pertama Ratu Winahon, kelak
menjadi isteri Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta). Putera kedua, Pangeran
Arya (Pangeran Japara), yang menjadi anak angkat Ratu Kalinyamat dari Japara.
Pasangan Pakungwati‑Demak
lainnya yang dijodohkan: Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun; Pangeran
Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan); dan Ratu Ayu dengan Pangeran
Sabrang Lor (Adipati Yunus Abdul Kadir).
B. WAHANTEN BANGKIT
Pada permulaan tahun
1444 Saka (1522 Masehi), pasukan bersenjata Kerajaan Sunda Pajajaran yang
sangat kuat, dipimpin langsung oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa, menyerang
kerajaan-kerajaan daerah yang dianggap tidak setia lagi kepada Pakuan.
Serangan pasukan
Kerajaan Sunda Pajajaran, telah menaklukkan 16 Ratu dan Adipati bawahannya.
Mereka dapat ditaklukkan, karena pasukan Kerajaan Sunda Pajajaran sangat besar,
terdiri dari pasukan gabungan dari raja daerah, yang setia kepada Prabhu
Sanghiyang Surawisesa. Sedangkan raja‑raja daerah yang diperanginya,
kekuatannya tidak seberapa, dan persenjataannya pun tidak lengkap. Itulah
sebabnya, Ratu‑Ratu wilayah dapat dikalahkan, dan pasukan yang tersisa
melarikan diri, meminta perlindungan kepada Kesultanan Pakungwati Cirebon.
Adapun kesatuan pasukan
bersenjata Pakuan Pajajaran, tidak berani menyerang Kesultanan Pakungwati
Cirebon. Karena Pakungwati, memiliki kesatuan pasukan bersenjata yang lengkap,
juga dibantu oleh pasukan armada tempur Demak.
Beberapa orang Raja
daerah yang kalah perang, semua pejabat serta kesatuan bersenjata yang ditawan,
dibebaskan oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa, dengan janji akan setia dan
berbakti kepada Kerajaan Sunda Pajajaran.
Adapun
raja‑raja daerah (Ratu) dan adipati (Bupati), yang dikalahkan oleh kesatuan pasukan
bersenjata Prabu Sanghiyang Surawisesa, adalah:
1.
Nyai Aryya Baroh (Puteri Sariyah), Ratu Sunda Kalapa Dalam (Kalapa Kulon);
2.
Kyai Wudhubasuraga, Raja Daerah Tanjung
3.
Nyai Ngajirasa, Ratu Ancol;
4.
Adhipati Suranggana, Raja Daerah Wahanten Girang;
5.
Sang Aryya Suraprasa, Raja Daerah Simpang;
6.
Aryya Pulunggana, Raja Daerah Gunung Batur;
7.
Ratu Hyang Banaspati, Raja Daerah Saung Agung
8.
Aryya Sukara, Raja Daerah Rumbut;
9.
Tumenggung Linggageni, Raja Daerah Gunung Ageng;
10.
Sang Adhipati Patala, Raja Daerah Padang
11.
Prabhu Yasanagara, Raja Daerah Pagawok;
12.
Sang Aryya Wirasakti, Raja Daerah Muntur;
13.
Aryya Senapati Bhimajaya, Raja Daerah Hanum;
14.
Sang Aryya Wuludada, Raja Daerah Pager Wesi;
15.
Pradharmaya, Raja Daerah Medang Kahiyangan;
16.
Sang Prabhu Walahar, Raja Daerah Gunung Banjar.
Pada saat itu, jalur perdagangan perairan
Selat Sunda dan perairan Selat Malaka, dikuasai oleh Kerajaan Sunda Pajajaran
dan Portugis. Jelas, jalur perdagangan Demak di wilayah barat, tersumbat. Oleh
karena itu, Sultan Demak (Raden Patah), berambisi merebut wilayah pantai utara
Kerajaan Sunda.
Kekhawatiran Sultan
Demak, kesatuan angkatan bersenjata Prabu Sanghiyang Surawisesa, akan menyerang
Pakungwati Cirebon. Karena sudah tersiar berita, bahwa tidak lama lagi, akan
tiba armada tempur Portugis, untuk memberi bantuan kepada Prabu Sanghiyang
Surawisesa.
Oleh sebab itulah, Sultan Demak
memerintahkan adik iparnya, Panglima Bintoro alias Fadhillah Khan, untuk memata-matai
Sunda Kalapa dan Wahanten Pasisir. Tak lama kemudian, Panglima Fadhillah Khan
bersama para pengiringnya, tiba di Banten menyamar sebagai pedagang.
Sebagairnana yang
diamanatkm oleh Sultan Demak, Fadhillah Khan terlebih dahulu menemui Syekh Maulana
Hasanuddin, guna meminta bantuan mengenai siasat untuk merebut Wahanten
Pasisir. Setelah bertemu dengan Syekh Maulana Hasanuddin, barulah Fadhivah Khan
bersama pengiringnya, menyusup berkehling kota, perdukuhan, bandar, desa,
sambil menjajakan bermacam‑macam barang, aneka macam perhiasan dan yang
lainnya.
Beberapa bulan
kemudian, Fadhillah Khan bersama pengiringnya, kembah ke Demak. Singgah di
Pakungwati Cirebon, memberitahukan hasil penyelidikannya kepada mertuanya,
Susuhunan Jati. Sekaligus menyampaikan kehendak Sultan Demak, untuk menyerang
wilayah daerah-daerah tertentu di pantai utara Kerajaan Sunda Pajajaran.
Setelah itu, barulah Panglima Fadhillah Khan, kembali ke Demak.
Sebagaimana yang telah
dikemukakan, bahwa Fadhillah Khan berasal dari negeri Pasai di Sumatera sebelah
utara. Dia memperisteri puteri Susuhunan Jati, Ratu Ayu, janda Pangeran Sabrang
Lor. Pangeran Sabrang Lor, adalah putera mahkota Demak, yang bergelar Adhipati
Yunus Abdul Kadir (Dipati Unus). la gugur pada usia muda, dalam pertempuran
dengan Portugis di perairan Selat Malaka.
Pada tahun 1448 Saka
(1526 Masehi), pasukan gabungan angkatan bersenjata Pakungwati‑Demak, dibantu
pasukan simpatisan dari berbagai daerah, terdiri dari 1.967 tentara, bergerak
menuju perairan Wahanten Pasisir. Kekuatan pasukan gabungan, dipimpin langsung
oleh Panglima Besar Fadhillah Khan, didampingi oleh Adipaf Keling dan Adipati
Cangkuang.
Ketika Syekh Maulana
Hasanuddin sedang berada di Wahanten Pasisir menerima "berita
rahasia" dari kurir ayahnya. Susuhunan Jati Cirebon Syekh Syanf Hidayat
memberitakan, bahwa pasukan gabungan Pakungwati‑Demak yang dipimpin oleh
Panglima Fadhillah Khan, sedang dalam pelayaran, ditugaskan untuk merebut
wilayah Wahanten (Banten) Pasisir.
Sebelum armada laut
gabungan Pakungwati‑Demak tiba, Pangeran Sabakingkin atau Syekh Maulana
Hasanuddin, mengerahkan "pasukan gerilya" yang sudah dipersiapkan
secara diam‑liam. Kemudian mengadakan gerilya, di berbagai tempat di wilayah
Wahanten Pasisir, sebagai "gerakan pendahuluan".
Adipati Sang Arya Surajaya, mengerahkan
pasukan Wahanten Pasisir, untuk menumpas huru‑hara tersebut. Akan tetapi,
"pasukan gerilya" Maulana Hasanuddin, lebih siap untuk bertempur.
Secara diarn‑diam, beberapa orang pasukan Wahanten Pasisir, sempat dibinasakan.
Ketika Sang Adipati
Arya Surajaya dengan pasukan Wahanten Pasisir disibukkan oleh "pasukan
gerilyawan", tibalah serangan mendadak, pasukan gabungan Pakungwati‑Demak.
Serangan dahsyat, secepat kilat telah membinasakan pasukan Adipati Arya
Surajaya, dan berhasil menduduki Keraton Wahanten Pasisir.
Adipati Arya Surajaya
sangat cemas. Korban di pihaknya sudah tidak terhitung. Pihak penyerang sudah
tidak bisa dibendung. Akhirnya, Sang Adipati Surajaya dan keluarganya, serta
sebagian pembesar kerajaan Wahanten Pasisir yang masih hidup, menyelamatkan
diri, menerobos hutan lebat, bergegas menuju Pakuan (Bogor).
Sang Adipati Arya
Surajaya, memerintah Wahanten Pasisir hanya 7 tahun, dari tahun 1441 Saka (1519
Masehi) hingga tahun 1448 (1526 Masehi). Kemungkinan, Adipati Wahanten Pasisir
inilah, yang dimaksud oleh Museum Peninggalan Sejarah dan Purbakala Banten Lama
di Serang, dalam tutisan besar pada dinding ruang depannya: ";Setelah
takluknya penguasa Hindu‑Budha Prabu Pucuk Umun di Banten Girang kepada Maulana
Hasanuddin pada tahun 1526 Surosowan (Banten Lama) segera menjadi pusat
pemerintahan Banten".
Untuk mengangkat
kebesaran Maulana Hasanuddin, sebenarnya tidak perlu menyudutkan "penguasa
Hindu‑Budha Prabu Pucuk Umun", sebelum dapat dibuktikan kebenarannya.
Karena hal ini, tidak sesuai dengan kajian arkeologi, dengan ditemukannya
penafsiran arsitektur dan batu‑batu nisan yang memiliki pertanggalan yang lama
abad ke‑16 (Ambary,1988: 8). Juga tidak sesuai dengan kronik‑kAonik yang
berkembang di Banten, bahwa pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriyah atau
bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 Masehi, pusat pemerintahan Banten,
yang tadinya berada di pedalaman yakni di Banten Girang dipindahkan ke dekat
pelabuhan Banten (Michrob,1993: 68).
Sesuai rencana, setelah
Wahanten Pasisir berhasil direbut, atas nama Susuhunan Jati Cirebon penguasa
Kesultanan Pakungwati Cirebon, Panglima Fadhillah Khan menobatkan Pangeran
Sabakingkin atau Syekh Maulana Hasanuddin menjadi Adipati Wahanten Pasisir
(Bupati Banten Pasisir), dalam usia 48 tahun.
Di balik peristiwa itu,
sesungguhnya, "pasukan gerilya" Syekh Maulana Hasanuddin, mendapat
bantuan pasukan Kerajaan Wahanten Girang. Sangat masuk akal. Sebab, penguasa
Wahanten Girang, Sang Adipati Arya Suranggana yang bergelar Ki Bagus Molana,
telah lebih dahulu masuk agama Islam. Kemudian, Sang Adipati Suranggana alias
Ki Bagus Molana, pernah merasa sakit hati oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa,
yang pernah menyerang Wahanten Girang pada tahun 1522 Masehi. Secara
kekerabatan, Sang Adipati Arya Suranggana atau bergelar Ki Bagus Molana, masih
kakeknya Syekh Maulana Hasanuddin.
Kemungkinan besar, Sang
Adipati Arya Suranggana atau Ki Bagus Molana, setelah wafat dimakamkan di
Tempat Suci situs Banten Girang. Sayangnya, di komplek makam Tempat Suci itu,
masyarakat disilapkan oleh dua makam keramat "Mas Jong" dan
"Agus Jo". Sehingga makam Ki Bagus Molana sulit untuk dilacak,
"terhapus" oleh mitos "Mas Jong" dan “Agus Jo”.
Akan tetapi, dengan hadirnya Sang Adipati Arya Suranggana, yang bergelar Ki
Bagus Molana, dalam panggung sejarah Banten yang sesungguhnya, anggapan
"Mas Jong dan Agus Jo sebagai orang Banten pertama yang masuk Islam",
sulit dibenarkan.
Hoesein Djajadiningrat
(1913) secara kritis, meragukan keberadaan tokoh Ki Jong dan Ki Jo, antara lain
sebagai berikut:
Jongjo
rupanya nama seorang dari kedua ponggawa itu karena selanjutnya nama itu
digunakan sebagai nama seorang saja. Tradisi yang kemudian telah menceraikan
nama itu dan menyebut berturut‑turut sebagai Ki Jong dan Ki Jo
(Djajadiningrat,1983: 34).
Berdasarkan kutipan tersebut, rupanya telah
terjadi manipulasi, dari seorang tokoh, kemudian berkembang menjadi dua orang.
Selanjutnya Hoesein Djajadiningrat membahasnya, antara lain:
Apabila Ki Jongjo, seorang dari Pakuwan, yang dengan sukarela telah memeluk
agama Islam dan menyatukan diri dengan Hasanuddin, mengemukakan usulnya kepada
panembahan, yaitu Hasanudin, maka Molana Yusuplah, anak Hasanuddin, yang
meminta kepadanya keterangan‑keterangan selanjutnya, makaYusuplah lagi ‑ dalam
kedua redaksi termuda disebut hanya dengan Molana dalam redaksi tertua dengan
namanya ‑ yang menjanjikan kepada Ki Jongjo hadiah yang diminta. Perhatikanlah
baik‑baik: di hadapan ayahanda beliau seorang anak menjanjikan kepada seorang
yang diperhamba ayahanda beliau, akan memerdekakannya! Keanehan ini tidak
dilenyapkan, bahkan tidak dilemahkan, oleh pernyataan, bahwa setelah selesainya
ekspedisi, Jongjo menerima hadiahnya dari tangan panembahan. Maka bertanyalah
kita apakah penulis kronik itu tidak mencampuradukkan dua kisah: suatu kisah
yang lebih tua yang benar tentang direbutnya Pakuwan di masa pemerintahan dan
oleh Molana Yusup, yang tentangnya kita di sini dan di dalam sangkala mempunyai
peninggalan‑peninggalannya, yang memberikan kenyataan itu kepada Hasanuddin;
atau penulis itu sendirikah barangkali yang mengubah kisah asli itu menjadi
kisah yang kemudian? Karena adalah dalam garis tradisi, yang memandang
Hasanuddin sebagai penyiar Islam di Banten dan sebagai raja Islam yang pertama di
sana, untuk menggambarkan baginda sebagai orang yang menghancurkan kafir,
sebagai penakluk Banten Girang dan Pakuwan (Djajadiningrat,1983:149‑150).
Terkesan tokoh Ki Jong dan Ki Jo, oleh penulis Babad disudutkan dalam
posisi "kambing hitam", demi kebesaran Panembahan Hasanuddin. Setelah
makamnya dikeramatkan, dua tokoh tersebut diberi gelar Jawaisme "Mas"
Jong dan "Agus" Jo. Konon menurut dongeng, Ki Jong dan Ki Jo itu
kakak beradik. Pertanyaannya, kenapa harus memakai gelar Jawa isme? Kenapa
gelarnya berbeda?
Siapa tahu, gelar
"Agus" itu, sesungguhnya harus dialamatkan kepada "Ki
Bagus" Molana, seorang Adipati (Bupati) Wahanten Girang, putera Sri Baduga
Maharaja, yang terlebih dahulu masuk Islam.
Mencermati naskah kuna
Sunda Kropak 406 Carita Parahiyangan,
Kropak 632Amanat Dari
Galunggung Kropak 630 Sanghiyang
Siksakandang Karesian, Kropak 410 Carita Ratu Pakuan,
Kropak 408 Sewaka Darma, tidak pernah ditemukan motif nama yang pendek,
sependek nama Jong dan Jo. Jika Ki Jong dan Ki Jo "orang penting" dari
Sunda Pajajaran, seharusnya, di depan namanya menggunakan gelar
"Rakeyan".
Seandainya, tokoh Ki
Jong dan Ki Jo (atau Ki Jongjo saja) itu benar-benar pernah ada, sebagai
patriot yang pernah berjasa kepada Kesultanan Surasowan, mereka tidak akan
dimakamkan di "Banten Girang". Setidaknya, harus satu komplek dengan
makam junjungannya (yang dipertuan): Panembahan Hasanuddin. Oleh karena itu,
makam kerainat "Mas Jong" dan "Agus Jo" di situs Banten
Girang, perlu kiranya diteliti lebih lanjut.
Kembali ke Wahanten
Girang. Atas inisiatif Ki Bagus Molana, akhirnya Wahanten Girang bergabung
dengan Wahanten Pasisir. Dengan demikian, Pangeran Sabakingkin Adipati Syekh
Maulana Hasanuddin, berkuasa atas dua wilayah kerajaan: Wahanten Pasisir dan
Wahanten Girang. Akhirnya Pangeran Sabakingkin dinobatkan kembali, dan
memperoleh gelar Panembahan. Pengertian panembahan, adalah tokoh ulama besar
Islam yang sangat dihormati, merangkap jadi penguasa. Gelar itu, lebih dikenal
secara umum oleh masyarakat Muslim, dengan sebutan Sultan.
Seorang Panembahan kelahiran Wahanten
(Banten), beralur darah trah Rasul Muhammad, berbaur dengan alur darah trap Sri
Baduga Maharaja, melalui ketawakalan dan perjuangan yang berat, akhirnya
berhasil mendirikan monumen Islam yang kokoh di Bumi Wahanten. Sebagian besar
penduduknya, menjadi pemeluk setia agama Rasul Muhammad.
Untuk memperkuat posisi
pemerintahannya, Panembahan Hasanuddin mendirikan keraton yang indah dan megah,
terletak di jantung wilayah Wahanten Pasisir. Untuk mengenang kakeknya yang
tercinta, keraton ia dirikan, diberi nama Keraton Surasowan.
Sebutan Surasowan
sebagai nama keraton, akhirnya berkembang menjadi sebutan wilayah kekuasaan.
Sejalan dengan isi prasasti tembaga berhurup Arab, yang dibuat oleh Sultan Haji
atau Sultan Abdul Nasr (1683‑1687), nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah
Negeri Surasowan.
Setahun kemudian,
sebanyak 1.452 personal angkatan perang gabungan Pakungwati‑Demak, di bawah
komando Panglirna Fadhillah Khan, menyerang Sunda Kalapa (Jakarta). Dalam
pertempuran itu, Adipati Sunda Kalapa Sang Arya Sutakreta, Permaisuri, dan para
pengiringnya, tewas binasa. Sisa yang masih hidup, menyelamatkan diri ke
ibukota Pakuan Pajajaran. Sang Arya Surakreta, menjadi penguasa
"kadipatian" Sunda Kalapa, hanya 6 tahun lamanya, dari tahun 1443
Saka (1521 Masehi) hingga tahun 1449 Saka (1527 Masehi).
Sebagai catatan,
kakaknya Sang Arya Surakreta, yaitu Nyai Arya Baroh, adalah penguasa Sunda
Kalapa Dalam (Kulon). Ia puteri Adipati Kranda, Raja Daerah Kalapa Pasisir (Sunda
Kalapa). Nyai Arya Baroh, diperisteri oleh Kyai Arya Baroh, saudagar kaya dari
Perlak. Kemudian, setelah memeluk agama Islam, Nyai Arya Baroh bergelar Puteri
Sariyah.
Setelah Sunda Kalapa
dikuasai pasukan gabungan Pakungwati‑Demak, Panglima Fadhillah Khan, ditunjuk
menjadi Adipati (Bupati) Sunda Kalapa (Jakarta), oleh Susuhunan, Jati Cirebon.
Beberapa bulan
kemudian, armada Portugis berangkat dari negeri Pasai, tiba di perairan Sunda
Kalapa. Mereka tidak mengetahui, bahwa wilayah Sunda Kalapa, sudah diduduki
oleh pasukan gabungan Pakungwati‑Demak. Selanjutnya, pecahlah pertempuran
antara pasukan armada Portugis dengan pasukan gabungan Pakungwati‑Demak, di
Pelabuhan Sunda Kalapa. Armada Portugis dipukul mundur, terdesak dan menderita
kekalahan, sehingga banyak tentaranya yang tewas. Anggota pasukan yang tersisa,
menyelamatkan diri, kembali berlayar menuju perairan Selat Malaka.
Di belahan timur
Kerajaan Sunda Pajajaran, telah terjadi perubahan situasi politik, akibat
melemahnya pemerintahan pusat di Pakuan. Penguasa Kerajaan Galuh Prabu
Jayaningrat, memanfaatkan situasi seperti itu, bagi kepentingan Kerajaan Galuh
untuk mengembangkan diri.
Prabu Jayaningrat,
adalah putera Prabu Ningratwangi, cucu Prabu Dewa Niskala. Prabu Ningratwangi,
adalah adik Sri Baduga Maharaja, yang menjadi penguasa Kerajaan Galuh, bawahan
Kerajaan Sunda Pajajaran. Prabu Jayaningrat, menggantikan posisi ayahnya,
menjadi penguasa Kerajaan Galuh, pada tahun 1501 Masehi.
Berdasarkan riwayat hak
waris, wilayah Pakungwati Cirebon, adalah merupakan bagian dari kekuasaan
Kerajaan Galuh. Oleh karena itu, Prabu Jayaningrat segera mengirimkan surat
kepada Susuhunan Jati Cirebon, yang isinya "Agar Pakungwati Cirebon,
kembali mengirirnkan upeti ke ibukota Kerajaan Galuh, seperti kebiasaan di masa
silam. Kalau tidak, akan digempur".
Akan tetapi, oleh
Susuhunan Jati Cirebon, permintaan penguasa Kerajaan Galuh itu ditolak.
Susuhunan Jati Cirebon, segera mengirimkan kabar kepada Fadhillah Khan, untuk
datang dengan pasukannya ke Pakungwati Cirebon.
Penolakan
Susuhunan Jati Cirebon, membangkitkan amarah Prabu Jayaningrat. Pada tahun 1450
Saka (1528 Masehi), pasukan bersenjata Kerajaan Galuh, bergerak menuju wilayah
perbatasan Pakungwati Cirebon. Serangan, dipimpin langsung oleh Prabu Jayaningrat,
didampingi Adipati Rajagaluh Sang Arya Kiban.
Adipati Kuningan
Sang Suranggajaya, oleh Susuhunan Jati Cirebon, diserahi tugas melindungi
pondok pesantren, yang tersebar di perbatasan Cirebon-Galuh. la. adalah putera
Ki Gedeng Luragung Jayaraksa, yang diangkat anak oleh Arya Kamuning
(Bratawiyana), sekaligus sebagai menantu Ratu Selawati.
Oleh karena itu,
pasukan penyerang dari Kerajaan Galuh, dihadang oleh pasukan Sang Suranggajaya,
di dekat Bukit Gundul. Akan tetapi pasukan Kerajaan Galuh, jumlahnya banyak,
dan terlalu kuat untuk dihadapi oleh pasukan Sang Suranggajaya. la. terdesak,
segera mengirimkan berita ke Pakungwati, memohon bala bantuan.
Bala bantuan pasukan
gabungan Pakungwati‑Demak-Kuningan tiba, dipimpin oleh "panglima perang senior"
Sri Mangana Pangeran Cakrabuana, pendiri Kesultanan Pakungwati Cirebon.
Pertempuran sengit itu
terjadi di palagan bukit Gula Sagandu. Dalam pertempuran ini, pasukan Demak
memiliki kelebihan tersendiri, dilengkapi senjata meriam. Pasukan Kerajaan Galuh
menyebutnya "panah yang berbunyi seperti guntur, mengeluarkan asap hitam,
sambil memuntahkan logam panas".
Pasukan Kerajaan
Galuh terlesak. Mereka mengundurkan diri ke benteng pertahanan tetakhir di
Talaga (Majalengka). Kerajaan Galuh yang didirikan oleh Prabu Wretikandayun
pada tahun 612 Masehi itu, runtuh dalam pertempuran di Bukit Gundul, Palimanan.
Sejak itulah, wilayah utara Kerajaan Galuh berada di bawah kekuasaan Kesultanan
Pakungwati Cirebon.
Setahun setelah
berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Galuh, Sri Mangana Pangeran Cakrabuana
Haji Abdullah Iman wafat (1529 Masehi). Segenap keluarga keraton Pakungwati
Cirebon dilanda dukacita, kehilangan tokoh penting yang disegani, pendiri
Kerajaan Islam pertama di Kerajaan Sunda.
Pada tahun 1452 Saka
(1530 Masehi), pasukan gabungan Pakungwati, Demak, dan Kuningan, melakukan
"pembersihan" terhadap sisa‑sisa pasukan Kerajaan Galuh yang bertahan
di Talaga. Akhirnya Talaga, dapat ditaklukkan, berada di bawah kekuasaan
Pakungwati Cirebon. Hingga tahun 1453 Saka (1531 Masehi), beberapa wilayah
bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran lainnya, berhasil direbut, oleh pasukan
Pakungwati Cirebon.
Pada saat itu, Pangeran
Pasarean diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi pembesar kerajaan,
sebagai Patih Pakungwati Cirebon, yang mewakili Susuhunan Jati. Kebijakan itu
dilakukan, agar Pangeran Pasarean, dapat berperan penting dalam menghadapi
Kerajaan Sunda Pajajaran.
Akan tetapi, permusuhan
Pakungwati‑Pajajaran dapat dihentikan. Kedua belah pihak menempuh jalan damai,
mengadakan perjanjian pada tanggal 14 paro terang bulan Asadha tahun 1453 Saka
(29 Juni 1531 Masehi).
Antara Sang Prabu Surawisesa dengan
Susuhunan Jati Cirebon, menyepakati, bahwa:
1.
Kedua belah pihak mengakui kedaulatan masing-masing;
2.
Tidak saling menyerang;
3.
Silih asih (saling menyayangi), atuntunan tangan (kerjasama), karena kita
sedarah (sama‑sama keturunan Sri Baduga Maharaja), janganlah putus.
Peristiwa tersebut, tersirat dalam Kropak
406 Carita Parahiyangan, berupa penilaian
terhadap Prabu Sanghiyang Surawisesa, dengan kalimat yang sangat singkat: "kadiran,
kasuran, kuwanen. Prangrang lirnawelas kali henteu eleh"
(perwira, perkasa, pemberani. Perang lima belas kali, tidak kalah). Maksud
"tidak kalah" tersebut, mungkin karena diakhiri dengan jalan damai.
Berdasarkan perjanjian
Pakungwati‑Pajajaran, Prabu Sanghiyang Surawisesa mempunyai kesempatan untuk
membenahi situasi di dalam negerinya. Dalam suasana tenang dan damai, ia
merenungi hidupnya, betapa merasa kecil dirinya jika dibandingkan dengan
kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Rasa hormat dan kekaguman itu,
dibuktikan dengan mengadakan upacara penyempurnaan sukma (sraddha) ayahnya, pada
tahun tanggal 7 paro gelap bulan Bhadrawada 1455 Saka (14 September 1533 Masehi).
Pada kesempatan itu, Prabu Sanghiyang Surawisesa membuat tanda peringatan
(prasasti), tanpa segorespun membubuhkan identitas dirinya.
C. KALIYUGA BUNGA PRALAYA
Dua tahun kemudian (1535 Masehi), Prabu
Sanghiyang Surawisesa wafat. la digantikan oleh puteranya, Prabu Ratudewata.
Prabu Ratudewata memperisteri Ratu Sanghiyang, adik Ratu Wiratala, putera
Adipati Surakerta (Sunda Kalapa). la menjalankan kehidupan seperti Rajaresi.
Berpuasa, hanya meminum susu (lumaku
ngarajaresy tapa pwah susu).
Pada masa pemerintahannya, sudah tidak lagi
menghargai keagamaan. Pendeta sakti di Sumedang, dianiaya. Pendeta di
Ciranjang, dibunuh tanpa dosa. Pendeta di Jayagiri, mati ditenggelamkan ke
dasar laut. Akan tetapi, ada pendeta sakti, Munding Rahiyang namanya, ditenggelamkan
ke dasar laut, tapi tidak mati. la tetap hidup, menghilang tanpa meninggalkan
jejak.
Sang Prabu Ratudewata, tidak memperdulikan
perjanjian Pakungwati-Pajajaran, yang telah disepakati ayahnya. Beberapa
wilayah bawahan yang telah dikuasai oleh Pakungwati Cirebon, direbutnya
kembali. Bahkan banyak tajug (masjid) yang dirusak dan pondok (pesantren) yang
dirampok.
Pasukan bersenjata Sang Prabu Ratudewata,
senantiasa menciptakan huru‑hara, keonaran, dan melakukan kejahatan terhadap
masyarakat. Mereka sudah mengingkari etika purbatisti‑purbajati Sunda,
Sanghiyang Siksakandang Karesian, yang diamanatkan oleh Sri Baduga Maharaja.
Oleh karena itulah, tibalah bencana
serangan musuh "kasar" (nampak nyata), tidak diketahui asal‑usulnya (datang na bancana musuh ganas tambuh
sangkane). Perang di Buruan Ageung (Alun‑alun) (prangrang di buruan ageung).
Pada tahun 1465 Saka (1543 Masehi), pasukan
bersenjata Surasowan Wahanten, di bawah komando Panembahan Hasanuddin,
didampingi puteranya (Panglima Maulana Yusuf), menyerang ibukota Pakuan
Pajajaran.
Serangan laskar Surasowan Wahanten, sangat
beralasan. Karena, karakter penguasa Sunda Pajajaran yang mereka hadapi, sudah
jauh mengingkari karakter leluhurnya, Sri Baduga Maharaja. Sesungguhnya,
berdasarkan hak historis alur darah keturunan, Panembahan Hasanuddin adalah
cicitnya Sri Baduga Maharaja. la pun akhli waris tahta Sunda Pajajaran.
Dalam pertempuran sengit di Alun‑alun kota
Pakuan, Sang Prabu Ratudewata, Adipati Wiralaya (Rata Sanghiyang), Adipati
Dharmabhuwana (Ratu Sarendet), pejabat, perwira, pengawal raja, ponggawa‑ponggawa
kerajaan, tewas berjatuhan.
Kemungkinan, serangan laskar "tambuh sangkane" (tanpa identitas
resmi) itu, tidak sungguh‑sungguh, hanya sebagai "pemanasan" laskar
Surasowan. Mengingat, ayahnya, Susuhunan Jati Cirebon, masih terikat oleh
perjarijian Pakungwati‑Pajajaran.
Atau boleh jadi, serangan kilat ke kota Pakuan itu, sekaligus merupakan
"unjuk rasa", akibat tidak langsung dari peristiwa penobatan Pangeran
Pasarean. Sebagai anak sulung dari isteri pertama Susuhunan Jati (Kawung
Anten), Panembahan Hasanuddin lebih berhak atas tahta Pakungwati Cirebon.
Sebab, setelah puas melakukan serangan kilat ke kota Pakuan, laskar Surasowan
Wahanten ditarik mundur, melanjutkan gerakannya ke arah utara. Serangan terjadi
ke wilayah Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri.
Penulis naskah kuna Kropak 406 Carita
Parahiyangan, menyindir tajam kelakuan Prabu Ratudewata "Ya,
berhati‑hatilah orang‑orang yang hidup di kemudian hari, janganlah engkau kalah
perang karena rajin berpuasa" (nya
iyatnayatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan). Prabu
Ratudewata menjadi Raja Sunda Pajajaran, selama 8 tahun. Dari tahun 1457 Saka
(1535 Masehi), hingga tahun 1465 Saka (1543 Masehi).
Selanjutnya Prabu Ratudewata digantikan
oleh menantunya, Sang Prabu Sakti Sang Mangabatan. Prameswari Sang Prabu Sakti
adalah Dewi Sekarwangi, puteri Prabu Ratudewata.
Jika mertuanya bersikap pura‑pura alim (lumaku ngarajaresi), Sang
Prabu Sakti bertindak sangat kejam. Ketika situasi Kerajaan Sunda Pajajaran
sudah kian memburuk, ia bertindak sesuka hatinya, tidak lagi mentaati norma
pemerintahan. la membunuh orang tidak berdosa, merampas tanpa rasa malu, tidak
hormat terhadap yang tua, dan menghinakan para pendeta (mati‑mati wong tanpa dosa, ngarampas
tanpa prege, lan bakti ring wong atuha, asampe ring sang pandita).
Puncak kebiadabannya, Sang Prabu Sakti
memperisteri estri larangan, dan memperisteri ibu tirinya, janda dari ayahnya,
Prabu Ratudewata. Prabu Sakti diturunkan dari tahtanya, akibat perilaku buruk
seorang raja, terkena bencana oleh wanita terlarang dari luar dan oleh ibu tiri
(kenana ratu twahna
kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana arnbu tere).
Prabu Sakti masih beruntung. Pada masa
pemerintahannya, sebagian besar pasukan Surasowan Wahanten, tahun 1546 Masehi
sudah berada di Jepata. Keberadaannya di sana, atas permohonan bantuan Sultan
Trenggono, untuk ikut menyerang Pasuruan.
Keberangkatannya ke Demak, Panembahan
Hasanuddin mengikutsertakan armada Portugis, yang dipimpin oleh Fernao Mendes
Pinto atau Tome Pinto. la salah seorang penandatangan perjanjian Pajajaran‑Portugis
21 Agustus 1522 Masehi di Pakuan. Dalam buku Peregrinacao (Penjelajahan),
Fernao Mendes Pinto (1510‑1583), mencatat semua kejadian, sejak ia berangkat
dari Goa memakai jung (kapal layar) Fedro de Faria.
Sebagian dari catatan perjalanannya, adalah sebagai berikut:
E partindo da guy para a cumda, em
dezassete dias chequey ao porto de Banta, que he onde comummente os Portugueses
fazem sue fazenda. E porque neste tempo a terra estaua muyto falta da pimenta
que hiamos buscar, nos foy forcado inuernarmos aly aquelle anno;com
determinacao de para o outro seguinte nos irmos para a China.
E suendo ja quasi dour mews qestauamos
neste porn fazendo pacifiamente nossas mercancias na terra, veyo tera ella por
mandado del Rey de Damrna, Emperador de toda a illla da Iaoa, Angenia, Bale, I
Madura, cotodas as mail ilhas deste arapelago, hue moltrer que se charnaua Nhay
Pombaya; Bona viuua de quasi sessenda annos de idade, aqual vinha de sua pane
dar recado ao Tagaril Rey da cmnda, que tambem era seu vassafo como os mais
Reys desta monarchia, paraque pessoalmete, em termo de mes I meyo fosse ter com
elle a cidade de lapara onde entao se fazia prestes para yr sobre o reyno de
Passeruao.
Terjemahannya:
Begitu
berangkat (dari Malaka) menuju Sunda, dalam jangka tujuh belas hari saya sampai
di pelabuhan Banta (Banten), tempat orang Portugis biasanya berdagang. Akan
tetapi, karena negeri pada saat itu mengalami penipisan persediaan lada yang
kami cari, maka kami terpaksa melewatkan musim hujan tahun ini di sana, dengan
maksud perjalanan ke Tiongkok pada tahun berikutnya.
Tatkala
kami sudah berada di pelabuhan ini selama hampir dua bulan, dan dengan tenang
berdagang di pasar setempat, seorang wanita bernama Nyai Pombaya tiba di sana
sebagai duta sultan dari Demak. Dialah kaisar Pulau Jawa, Kangean, Bali, Madura
dan semua pulau lain di kepulauan ini. Dialah seorang janda berusia menjelang
enam puluhan. Dia diutus untuk menyampaikan suatu pesan atas nama kaisar kepada
Tagaril, Raja Sunda, ‑yang juga menjadi bawahannya, sama seperti semua raja
lain dalam kekaisaran ini. Maksudnya, supaya dalam jangka waktu satu setengah
bulan ia hendak menghadapnya secara pribadi di kota Japara, tempat ia sedang melakukan
persiapan untuk menyerang Kerajaan Pasuruan (Heuken,1999: 90).
Ketika ia datang di pelabuhan Banten, raja
sendiri yang datang menjemputnya dan menyertainya ke tempat peristirahatan
besar di istana lalu diterima oleh isterinya dan raja sendiri kemudian pergi ke
bangunan lain.
Raja‑raja di sini telah biasa menyerahkan
urusan kerajaan yang penting ditangani para wanita terutama bila kelancaran
urusan tergantung kepada mereka. Hal demikian itu tidak saja mengenai
permohonan bantuan urusan pribadi raja dan para perunding wanita umumnya telah
berumur dan pandai menimbang-nimbang, serta memiliki beberapa persyaratan
lainnya lagi.
Setelah Niay Pombaya menyampaikan pesan
yang dibawanya kepada raja Sunda, bertolaklah ia dari kota Banten dan raja
menyediakan tandu untuknya. la membawa armada yang terdiri atas 30 calalulez
dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan perjalanan dan peralatan
perang. Dalarn 40 kapal itu terdapat 7.000 orang, tidak terbitung para
pendayung.
Dari 46 orang Portugis yang kebetulan
sedang berusaha di Banten, 40 orang ikut serta dan dengan kejadian ini raja
berjanji akan membantu perdagangan Portugis di Banten. Dengan demikian, pergi
mengikuti ekspedisi perang ini (merupakan kesempatan yang) tak dapat
dilewatkan.
Raja Sunda bertolak dari pelabuhan Banten
pada tanggal 5 Januari 1546 dan tiba pada tanggal 19 bulan itu di kota Jepara.
Di sana peralatan perang sedang disiapkan (Danasasmita, 1984: 46‑47).
Fernao Mendes Pinto,
tidak mengetahui kekerabatan utusan Niay Pombaya dengan Bupati Hasanuddin. Niay
Pombaya yang dimaksud Fernao Mendes Pinto, adalah Nyai Pembayun, isterinya
Fadhillah Khan, adik Sultan Trenggono.
Tagaril yang dimaksud Fernao Mendes Pinto,
adalah Ki Fadil, panggilan Fadhillah Khan sehari‑hari. Berdasarkan pendengaran,
masyarakat Sunda Kalapa sendiri, menyebut Fadhillah Khan menjadi
"Palatehan", dan menyebut Fadhillah menjadi "Patahilah"
Ketika Fernao Mendes Pinto mencatatnya,
Fadhillah Khan sedang berada di Surasowan Wahanten (Banten). Dari pendengaran,
ia beranggapan bahwa "Adipati Sunda Kalapa" Fadhillah Khan itu adalah
"raja Sunda". Adanya anggapan seperti itu, dikuatkan oleh peran
Fadhillah Khan, nampak lebih menonjol jika dibandingkan dengan Maulana
Hasanuddin. Sebab, selain menjadi Bupati Sunda Kalapa, Fadhillah Khan berperan
pula sebagai menantu Susuhunan Jati Cirebon, karena pernikahannya dengan Ratu
Ayu janda Pangeran Sabrang Lor.
Fadhillah Khan, mempunyai kedudukan penting
lainnya, yaitu sebagai panglima angkatan perang di Demak yang diperbantukan
pula di Pakungwati Cirebon. Di dalam pemerintahan Pakungwati Cirebon, Fadhillah
Khan merupakan "orang ketiga", setelah Susuhunan Jati dan Pangeran
Pasarean. Sedangkan Maulana Hasanuddin, baru berperan sebagai Adipati Wahanten,
berada di bawah kekuasaan Pakungwati Cirebon. Oleh karena itu dapat dimaklumi,
kalau Fernao Mendes Pinto menyangka "raja" Wahanten dan Sunda adalah
di bawah kekuasaan Fadhillah Khan (Tagaril).
Dari catatan Fernao Mendes Pinto, yang
penting diperhatikan, adalah tentang adanya hubungan multilateral, antara
Wahanten ‑ Sunda Kalapa ‑ Pakungwati ‑ Demak ‑ Portugis. Portugis yang semula
dimusuhi, bagi kepentingan mitra dagang, akhirrrya menjadi "negara
sahabat". Bahkan, Portugis diijinkan membuka kantor dagang di pelabuhan
Wahanten Pasisir, serta menempatkan armada lautnya di sana. Portugis menerima
kenyataan seperti itu, karena semua pelabuhan milik Kerajaan Sunda (Pajajaran),
dianggap sudah berada "di bawah pengaruh" Demak. Sehingga Fernao
Mendes Pinto mencatatnya, bahwa raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali,
Madura, Angenia.
Kembali kepada Prabu Sakti, penerus tahta
Kerajaan Sunda Pajajaran. Penulis Kropak 406 Carita Parahiyangan,
memperingatkan: Jangan ditiru oleh mereka yang kemudian, kelakuan raja ini (aja tirut de sang kawuri, polah sang
nata). Prabu Sakti menjadi Raja Sunda Pajajaran selama 8 tahun,
dari tahun 1465 Saka (1543 Masehi), hingga tahun 1473 Saka (1551 Masehi). la
wafat di Pengpelangan.
Sang Prahu Sakti digantikan oleh puteranya,
Sang Prabu Nilakendra, yang dikenal pula dengan sebutan Sang Penguasa di Majaya
(Tohaan di Majaya). Pada masa pemerintahannya, keadaan Kerajaan Sunda
(Pajajaran) sudah demikian rusak. Sehingga penulis Kropak
406 Carita Parahiyangan, mencatat pada masa pemerintahannya,
dianggap sudah tibanya kaliyuga (jaman kali). Jaman yang sudah berada
di ambang pralaya (kiamat, kehancurarr), yang hanya
menampilkan kejahatan dan kemaksiatan.
Pemerintahan Prabu Nilakendra dijadikan
pertanda, bahwa tidak akan lama lagi, Kerajaan Sunda (Pajajaran) akan pralaya,
akibat angkara‑murka penguasanya. Petani menjadi serakah akan makanan, tidak
merasa puas dengan tanaman yang sudah ada (wong huma darpa mamangan, tan igar
yan ta pepelakan).
Pada masa pemerintahan Prabu Nilakendra,
keagamaan Sunda (purbatisti‑purbajati Sunda), sudah dicampakkan jauh-jauh.
Prabu Nilakendra "memuja bendera keramat, memperindah keraton dengan
membangun taman berbalai tanah diperkeras dengan batu, yang mengapit gerbang
terlarang. Yang mendirikan bangunan megah 17 baris, dilukis dengan emas,
menggambarkan bermacam-macam dongeng mitos (nu ngibuda sanghiyang panji, mahayu
na kadatwan, dibalay manelah taman mihapikeun dora larangan. Nu migawe bale
bobot pitu welas jajar tinulis pinarada warnana cacaritaan).
Setiap saat, keraton Pakuan Pajajaran,
dimeriahkan oleh pesta pora. Makan enak, sambil minum‑minum "air yang
memabukkan sebagai penyedap makanan" (cai tiningkalan nidra wisaya ning
baksakilang) sampai mabuk. Bagi Prabu Nilakendra, tidak ada ilmu yang
disukainya, kecuali perihal makarran lezat yang sesuai dengan kekayaannya
(tatan agama gyan kwaliya rnarnangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar).
Prabu Nilakendra adalah penganut
Tantrayana, yang sangat percaya kepada khasiat rnantera dan ajimat. Tantrayana,
adalah kepercayaan mistis sinkretis, yang mengadopsi spiritual Budha dan Hindu.
Akan tetapi, Tantrayana yang dianut oleh Prabu Nilakendra, telah,jauh
mengingkari agama Budha dan Hindu yang sesunggulmya. Makan minum sampaimabuki,
itulah, untuk mempercepat proses tak sadarkan diri, dalam mendahului upacara
Tantrayana. Pikukuh (ajaran) Sunda tentang "makan sekedar pelapas lapar,
minum tuak sekedar pelepas dahaga" (nyatu tamba ponyo, nginum tuak tamba
hanaang) telah ditinggalkan lama sekali. Semua itu dilakukan oleh Prabu
Nilakendra, dalam keadaan Kerajaan Sunda Pajajaran terancam musuh, serta
dihantui bencana kelaparan. Itulah bunga pralaya yang disebut kaliyuga.
Kerajaan Sunda Pajajaian telah berada di ambang pintu kiamat.
Pada tahun 1567 Masehi, serangan besar‑besaran
laskar Surasowan Wahanten tiba, menembus jantung ibukota Pakuan. bendera
keramat, jimat-jimat, mantera-mantera Tantrayana, tidak sanggup menahan gema
"Allahhu Akbar" laskar Surasowan Wahanten. secepat kilat, pertahanan
pasukan Pakuan Pajajaran dilumpuhkan.
Serangan laskar Surasowan Wahanten kali
ini, sangat menarik untuk dicermati. Manakala tahta Kerajaan Sunda Pajajaran,
sudah tidak lagi dipegang oleh keturunan Sri Baduga Maharaja. Sebab, ayahnya Prabu
Nilakendra, yaitu Prabu Sakti, adalah menantu Prabu Ratudewata.
Panembahan Hasanuddin sebagai cicit Sri
Baduga Maharaja, mempunyai hak yang sama, dengan para penerus tahta Kerajaan
Sunda Pajajaran. Selain itu, ia telah membuktikan, bahwa Surasowan Wahanten,
adalah negeri yang kuat. Untuk melumpuhkan Kerajaan Sunda Pajajaran, tidak
memerlukan bantuan Pakungwati atau pun Demak.
Tidak direbut dan tidak didudukinya kota
Pakuan secara total, hanya disebabkan oleh rasa hormat kepada orang tuanya,
Susuhunan Jati Cirebon, sebagai penanda‑tangan perjanjian Pakungwati‑Pajajaran.
Persoalan merebut wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran, hanya tinggal menunggu
waktu yang tepat. Berita tentang serangan kedua laskar Surasowan ini, dalam
Kropak 406 Carita Parahiyangan, hanya tertulis secara singkat; Tohaan di Majaya
kalah perang, karena itu tidak tinggal di Keraton (tohaan di majaya alah
prangrang mangka tan nitih ring kadatwan). Tidak pernah ada berita, di mana
Prabu Nilakendra dipusarakan. Mungkin dia tewas di pengungsian. Prabu
Nilakendra berkuasa selama 16 tahun, dari tahun 1473 Saka (1551 Masehi), hingga
tahun 1489 Saka (1567 Masehi). Kerajaan Sunda Pajajaran telah ditinggalkan oleh
rajanya. Nasib kehidupan kota Pakuan, hanya dipercayakan kepada para pembesar
yang tersisa, yang tidak menyertainya ke pengungsian.
D. WAHANTEN MAHARDHIKA
Susuhunan Jati wafat pada tanggal 12 bagian
terang bulan Badra tahun 1490 Saka (19 September 1568 Masehi). Pada mulanya,
calon pengganti Susuhunan Jati, diharapkan oleh puteranya, yaitu Pangeran
Muhammad Arifm yang bergelar Pangeran Pasarean. Pangeran Muhammad Arifin atau
Pangeran Pasarean, adalah putera Susuhunan Jati, dari Nyai GedengTepasan. Akan
tetapi harapan itu tidak tetpenuhi, karena "putera mahkota" Pangeran
Pasarean, wafat dalam usia muda.
Latar belakang tragedi, diawali terbunuhnya
Sultan Trenggono, oleh bocah pengiringnya, ketika mengadakan penyerangan ke
Pasuruan. Kemudian, terjadilah huru‑hara di kalangan kerabat keraton Kesultanan
Demak. Calon pengganti Sultan Trenggono adalah puteranya, Sunan Prawoto.
Kekosongan tahta Demak, dimanfaatkan oleh Arya Penangsang, Bupati Jipang,
putera Pangeran Sekar (putera Raden Patah). Pangeran Sekar, adalah tokoh yang
dibunuh oleh Sunan Prawoto, untuk memperlancar kenaikan tahta ayahnya, Sultan
Trenggono. Atas restu gurunya, Sunan Kudus, Jipang menyerang Demak, dan Prawoto
tewas di tangan Arya Penangsang. Pangeran Hadiri (suami Ratu Kalinyamat),
adiknya Prawoto, tewas pula. Pada saat peristiwa itu terjadi, putera mahkota
Cirebon, Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), sedang berada di Demak, ia pun
tewas di tangan Arya Penangsang, karena berupaya membela Prawoto. Peristiwa itu
sangat melukai hati Susuhunan Jati Cirebon.
Calon pengganti Susuhunan Jati lainnya,
diharapkan adalah cucunya, yang bergelar Pangeran Suwarga. Pangeran Suwarga,
adalah putera Pangeran Pasarean dari Ratu Nyawa. Ratu Nyawa atau Ratu Ayu
Wulan, adalah janda dari almarhum Pangeran Bratakelana. Sedangkan Pangeran
Bratakelana, adalah putera Susuhunan Jati, dari Syarifah Bagdad atau Syarifah
Fatimah. Syarifah Fatimah, adalah puterinya Syekh Datuk Kahfi dan Hadijah.
Pangeran Suwarga, berkedudukan sebagai
Pangeran Dipati (putera mahkota) Pakungwati Cirebon. Akan tetapi ia wafat tahun
1565 Masehi, mendahului kakeknya, Susuhunan Jati.
Calon pengganti Susuhunan Cirebon lainnya,
adalah Pangeran Emas atau Panembahan Ratu, putera Pangeran Suwarga dari
Wanawati Raras. Wanawati Raras, adalah puterinya Fadhillah Khan dari Ratu Ayu.
Karena Pangeran Emas, pada waktu itu masih kanak‑kanak, pemerintahan Pakungwati
Cirebon, untuk sementara ditangani oleh Fadhillah Khan.
Fadhillah Khan alias Maulana Fadhillah Al
Paseh alias Wong Agung Paseh alias Tubagus Paseh, menjadi penguasa ketiga
Pakungwati Cirebon, dengan gelar penobatan: Fadhillah Khan Al Paseh ibnu
Maulana Makdur Ibrahim Al Gujarat. Kedudukan tertinggi itulah, yang menyebabkan
adanya anggapan di kemudian hari, bahwa "Sunan Gunung Jati"
(Susuhunan Jati) itu adalah "Fatahillah" (Fadhillah Khan).
Tampilnya
Fadhillah Khan sebagai Sultan Pakungwati Cirebon, secara terselubung, menjadi
masalah kerabat keraton lainnya. Naik tahtanya Fadhillah Khan, sebagai
Susuhunan Cirebon, dianggap tidak semestinya. Mengingat, Fadhillah Khan adalah
orang Pasai Sumatera, juga warga Demak. Sedangkan pada waktu itu, masih ada
calon pengganti yang lebih berhak, yaitu:
Pangeran Cirebon atau Pangeran Carbon,
putera Pangeran Cakrabuana (pendiri dan penguasa pertama Pakungwati Cirebon),
yang saat itu berkedudukan sebagai Senapati Pakungwati Cirebon; dan Pangeran
Sabakingkin atau Panembahan Maulana Hasanuddin, putera Susuhunan Jati dari Nyai
Kawung Anten.
Melihat kenyataan seperti itu, Sang Adipati
Wahanten Syekh Maulana Hasanuddin, akhirnya memproklarnirkan Kesultanan
Surasowan Wahanten (Banten), sebagai negara yang mahardhika (merdeka),
berdaulat, melepaskan diri dari kekuasaan Pakungwati Cirebon. Sekaligus,
melepaskan diri dari pengaruh politik Demak. Wahanten Pasisir, sudah berubah
menjadi purasaba (pusat pemerintahan) Kesultanan Surasowan, perkembangan dunia
perdagangannya semakin pesat. Sendi‑sendi Islam, telah mewarnai kehidupan
kenegaraan Surasowan. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Muhammad,
martabat pedagang bukan lagi pekerjaan "kasta kelas tiga Waisa".
Surasowan, berhasil menjadi negari niaga maritim, mampu berdiri sendiri,
sebagai pusat niaga di kawasan Nusantara.
Pada tahun 192 Saka (1570 Masehi),
Panembahan Hasanuddin Sultan Surasowan Wahanten watat, digantikan oleh
puteranya. Pangeran Yusuf: Pada tahun yang sama, Sultan Pakungwati
Cirebon Fadhillah Khan pun wafat, digantikan oleh Pangeran Ernas atau
Panembahan Ratu.
Pangeran Yusuf, adalah putera Panembahan
Hasanuddin dari permaisuri puteri Indrapura. Sedangkan dari isterinya yang
kedua, Ratu Ayu Kirana atau Ratu Mas Purnamasidi (puteri sulung Raden Patah Sultan
Demak), Panembahan Hasanuddin memperoleh beberapa orang putera: Ratu Winahon, -
kelak menjadi isteri Tubagus Angke, Bupati Jayakarta (Jakarta); dan Pangeran
Arya, - yang diangkat anak oleh Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai
Pangeran Japara.
Panembahan Hasanuddin, dipandang oleh
masyarakat Banten, seperti tokoh Siliwangi oleh orang Sunda lainnya di
Priangan. Hampir segala hal yang "aneh" atau "ajaib", bila
tidak dikenal asal‑usulnya, dialamatkan kepada Panembahan Hasanuddin. Misalnya,
kisah tentang watu gilang, yang
ditempatkan di depan Istana Surasowan. Menurut "Serat Banten", batu
itu bekas sajadah yang digunakan oleh Hasanuddin, ketika ia bersalat di
permukaan laut. Permukaan batu yang mula‑mula kasar itu, dengan "doa"
Hasanuddin, mendadak berubah menjadi licin, mengkilap dan berseri. Itulah kisah
watu gilang sriman sriwacana yang sebenarnya diboyong oleh Panembahan Yusuf
dari Pakuan. Bagi penulis "Serat Banten", bukan Maulana Yusuf yang
"menaklukkan" Pakuan, melainkan Hasanuddin. Karena Yusuf hanyalah
menjalankan tugas dari ayahnya. Karena itulah, pada saat Pakuan jatuh tahun
1579 Masehi, dalam kisah "Serat Banten", Panembahan Hasanuddin
dibiarkan "tetap hidup", walau sesungguhnya tokoh tersebut, telah
wafat tahun 1570 Masehi dalam usia 92 tahun (Danasasmita,1964: 48).
Sejak Pangeran Yusuf menjadi Panembahan
Surasowan, telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Satu persatu dari
raja daerah bawahan Kerajaan Sunda (Pajajaran), berhasil ditundukkan.
Panembahan Yusuf menjadi penguasa kedua Kesultanan Surasowan, dalam tahun yang
sama dengan Panembahan Ratu, di Pakungwati Cirebon.
Dari segi hubungan kerabat, Panembahan Ratu
adalah suan (anak adik) Panembahan Yusuf. Panembahan Ratu, tidak berusaha
menjalin kekerabatan dengan Panembahan Yusuf. la lebih mencurahkan perhatiannya
ke Pajang, kesultanan yang baru sebagai pengganti Kesultanan Demak. la murid
dan sekaligus menantu Adiwijaya, penguasa Kesultanan Pajang.
Selain ditinggallcan oleh Surasowan,
Panembahan Ratu Pakungwati Cirebon, kelak ditinggalkan pula oleh
Sumedanglarang, yang memisahkan diri sebagai negara merdeka. Pakungwati Cirebon
di bawah pemerintahan Panembahan Ratu, sudah demikian menurun kharismatiknya.
Tokoh‑tokoh yang menandatangani perjanjian
Cirebon‑Pajajaran semua telah meninggal. Panembahan Yusuf lebih leluasa untuk
menentukan masa depan Kesultanan Surasowan. Untuk melanjutkan perjuangan
ayahnya, ia menyusun rencana matang selama 9 tahun, untuk mengambil alih sisa
dari kekuatan Kerajaan Sunda Pajajaran.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,
perdagangan sudah demikian maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan
barang‑barang dari segala penjuru dunia yang nantinya disebarkan ke seluruh
kerajaan di Nusantara (Sutjipto,1961:13; dalam Michrob,1993: 81).
Situasi perdagangan di Karangantu, sebagai
salahsatu pelabuhan Surasowan, digambarkan sebagai berikut:
1.
Pedagang‑pedagang dari Cina, berdagang uang kepeng (uang yang terbuat dari
logam), porselen, sutra, beludru, benang emas, kain sulaman, jarum, sisir,
payung, selop, kipas, kertas, dan sebagainya. Ketika kembali ke negerinya,
mereka membeli lada, nila, kayu cendana, cengkeh, buah pala, kulit penyu dan
gading gajah;
2.
Orang Arab dan Persia, berdagang permata dan obat-obatan;
3.
Orang Gujarat, menjual kain dari kapas, sutera, dan kain putih dari Coromandel.
Ketika mereka kembali, membeli rempah‑rempah;
Sedangkan orang Portugis berdagang aneka kain dari Eropa & India.
Barang-barang dari luar negeri ini diambil
oleh pedagang‑pedagang dari Jawa, Makasar, Sumbawa, Palembang dan lainnya. Ke
Banten pedagang-pedagang ini membawa garam dari JawaTimur, gula dari Jepara dan
Jayakarta, beras dari Makasar dan Sumbawa, ikan kering dari Karawang,
Banjarmasin dan Palembang. Minyak kelapa dari Belambangan, rempah‑rempah dari
Maluku, lada dan Lampung dan Solebar, kayu cendana dan kepulauan Sunda kecil,
gading gajah dari Andalas, tenunan dan Bali dan Sumbawa, timah putih dan timah
hitam dan Perak, Kedah dan Selong di Malaka, besi dari Karimata, damar dari
Banda dan Banjarmasin (Pane, 1950:182).
Dari awal dinasti Maulana Yusuf inilah
Banten menjadi ramai, baik oleh penduduk pribumi maupun pendatang. Oleh
karenanya dibuatlah aturan penempatan penduduk sesuai dengan keakhlian dan asal
daerah penduduk itu (Ambary,1977: 448). Sehingga tumbuhlah perkampungan untuk
orang India, perkampungan orang Pegu, orang Arab, Turki, Persia, Siam, Cina,
dan sebagainya. Di samping ada pula perkampungan untuk orang Melayu, Ternate,
Banjar, Bugis, Makasar, Bali (Tjandrasasmita, 1975: 160).
Tembok keliling kota diperkuat dan
dipertebal, demikian juga tembok benteng di sekehling istana. Tembok benteng
diperkuat dengan lapisan luar bata dan batu karang dengan parit-parit di
sekelilingnya (Michrob,1983: 31).
Di samping mengembangkan pertanian yang
sudah ada, Maulana Yusuf pun mendorong rakyatnya untuk membuka daerah‑daerah
baru bagi persawahan, sehingga sawah di Banten bertambah luas sampai melewati
daerah Serang sekarang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi sawah‑sawah
tersebut, dibuatlah terusan‑terusan irigasi dan bendungan-bendungan
(Djajadiningrat,1983: 38 dan 59).
Bagi persawahan yang terletak di sekitar
kota, dibangun satu danau buatan yang dinamakan Tasikardi. Air dan sungai
Cibanten dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini, yang kemudian dibagi ke
daerah-daerah di sekitar danau. Tasikardi juga digunakan bagi pemenuhan
kebutuhan air bersih bagi kebutuhan masyarakat di kota. Dengan melalui pipa‑pipa
yang terbuat dan terakota, setelah dibersihkan/diendapkan di pengindelan abang
dan pengindelan putih, air yang sudah jernih tersebut dialirkan ke keraton dan
tempat‑tempat lain di dalam kota. Di tengah danau buatan tersebut terdapat
pulau kecil yang digunakan untuk tempat rekreasi keluarga keraton (Michrob,1981:
56‑58).
Pada masa Maulana Yusuf, strategi
pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah,
perdagangan dan pertanian. Dengan demikian, gangguan keamanan, dapat diatasi
dengan baik.
Setelah keadaan dalam negerinya dibenahi,
rencana untuk rnemperluas wilayah kekuasaannya, mulai dipersiapkan. Panembalran
Yusuf memobilisasi pasukan besar angkatan perang Surasowan. Sasaran utama
penyerangan, adalah Pakuan, ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran.
Laskar Surasowan Wahanten, dari sejak
pemerintahan ayahnya, terkenal kemampuannya dalam melakukan serangan kilat,
bergerak cepat dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Catatan VOC dalam bagian
kedua abad ke‑17 penuh dengan istilah rover, yang semuanya dialamatkan kepada
laskar Banten, karena mereka dianggap sebagai pengganggu ketertiban di daerah
kekuasan Kompeni.
Situasi di Kerajaan Sunda Pajajaran,
setelah Sang Prabu Nilakendra wafat, digantikan oleh puteranya, Nusiya Mulya
atau Prabu Ragamulya Suryakancana. Pada masa pemerintahannya, Prabu Ragamulya
Suryakancana, tidak tinggal di ibukota Pakuan Pajajaran, tetapi di Pulasari,
Pandeglang. Oleh karena itulah, ia lebih dikenal dengarr sebutan Pucuk Umun
Pulasari. Disebut demikian, karena ia memilih tinggal di lereng gunung Pulasari
(Pandeglang). Di sanalah ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran ditempatkan, sebagai
pusat pemerintahan yang baru.
Prabu Ragamulya Suryakancana, menjadi raja
Sunda (Pajajaran) sudah tidak lagi mengenakan mahkota. Karena mahkota turun‑temurun
dari Sri Baduga Maharaja, diamankan oleh panglima perang Jayaprakosa, beserta
ketiga saudaranya, dibawa mengungsi ke wilayah Sumedanglarang. Kelak, mahkota
tersebut dikenakan oleh Prabu Geusan Ulun sebagai Narendra Sumedanglarang.
Serbuan laskar Surasowan Wahanten, dipimpin
langsung oleh Panembahan Yusuf. Kota Pakuan Pajajaran, sudah ditinggalkan oleh
para pembesar kerajaan. Bila kenyataan yang terjadi, Keraton Pakuan Pajajaran
dibumi‑hanguskan oleh laskar Surasowan Wahanten, sangat memungkinkan. Bagi
Panembahan Yusuf, merupakan upaya "pembersihan", terhadap kedzaliman.
la tidak menghendaki, kebesaran dan nama baik Sri Baduga Maharaja, dinodai oleh
para penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran.
Dari peninggalan yang ada, laskar Surasowan
Wahanten, tampaknya tidak menggangu "tempat keramat" di dalam kota.
Terbukti masih tersisanya prasasti Batutulis Kota Bogor. Hanya kepala patung Ki
Purwagalih yang ditanggalkan.
Kemudian mereka memboyong Batu Gilang atau
Palangka batu Sriman Sriwacana ke ibukota Surasowan. Dengan diboyongnya batu
tersebut, maka di kota Pakuan, tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Palangka itu, menjadi tanda "keabsahan" Panembahan Yusuf, sebagai
ahli waris dan penerus kekuasaan raja‑raja Pajajaran. Watu Gilang Sriman
Sriwacana tersebut, terbuat dari batu andesit ukuran: 200 x 160 x 20
centimeter. Sekarang, Watu Gilang "tanda keabsahan Panembahan Yusuf
sebagai penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran", tergeletak terlantar di
bekas halaman keraton Surasowan. Padahal, batu tersebut mempunyai nilai
spiritual, yang dahulu digunakan untuk upacara penobatan Raja‑Raja Sunda.
Akibat serangan laskar Surasowan Wahanten,
sebagian penduduk kota Pakuan yang tersisa, mengungsi ke pantai selatan, di
Cisolok dan Bayah. Sampai sekarang, keturunannya masih merupakan kaum‑adat, dan
menamakan pemukimannya: Kampung Ciptarasa. Menurut cerita leluhurnya, mereka
meninggalkan kota Pakuan, ketika kota itu diserang laskar Surasowan Wahanten.
Jejak peristiwa itu, secara samar‑samar, dikisahkan Ki Baju Rambeng, dalam
Pantun Bogor.
Sesungguhnya, kota Pakuan telah "berhenti
berfungsi" sebagai ibukota kerajaan, sejak Prabu Nfakendra
meninggalkarmya. Raja Kerajaan Sunda Pajajaran yang terakhir, beribukota
d.Puasari, Pandeglang. Prabu Ragamulya Surya Kancana, tentunya tidak membuat
babak baru, untuk membangun Kerajaan Sunda Pajajaran. la hanya berlindung dan
mempertahankan hidupnya di salah satu kerajaan daerah bawahannya. Namun mengapa
ia justeru lari ke arah barat, ke suatu daerah yang lebih dekat ke sarang
musuhnya?
Mungkin Pucuk Umun Masari tidak
memposisikan dirinya sebagai raja "pemimpin pemerintahan". la hanya
sebagai "rajaresi", neangan marga lantaran (mencari keutamaan
jatidiri yang sesungguhnya), sambil menyongsong ajal tiba. Mungkin ia pergi ke
Pulasari, hanya berdasarkan getaran "panggilan masa silam", bahwa di sanalah,
di Pulasari "dangiang Sunda wiwitan" (kekuatan Sunda awal) tersimpan.
Semua atribut kebesaran kerajaan sudah ditanggalkan. la hanya seorang
"raja pendeta" bersahaja, yang meninggalkan urusan duniawi.
Prabu Ragamulya Suryakancana, bersama
pembesar dan pengikutnya yang setia, hanya berusaha mempertahankan diri,
menangkis serangan laskar Surasowan Wahanten. Akan tetapi, "Pajajaran
napak uga" (tiba saat berakhir). Sisa kekuatan Kerajaan Sunda Pajajaran di
purasaba Pulasari, dibinasakan.
Sekelompok kecil yang bernasib baik,
menyelamatkan diri ke Pegunungan Kendeng di Banten Selatan, bergabung bersarna
masyarakat "Sunda Wiwitan" di Mandala Kanekes. Di sanalah yang
sesungguhnya "Tanah Suci" religi Sunda, satu‑satunya pilihan untuk
menemukan ketentraman hidup yang hakiki.
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci
cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala (Pajajaran
lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka).
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran, bertepatan dengan tanggal 11
Rabiul `awal 987 Hyriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 Masehi.
Sang Prabu Ragamulya Suryakancana alias
Pucuk Umun Pulasari, belum tentu mengetahui riwayat Sang Panghulu Aki Tirem
Sang Aki Luhur Mulya, penguasa masyarakat Sunda pertama. Akan tetapi, napas
tertua bentuk kerajaan, terlahir dan berawal di bumi Pulasari Pandeglang.
Setelah riwayatnya mengalami pasang‑surut selama 1450 tahun, akhirnya berpusara
di tempat lahir.
Prabu Ragamulya Suryakancana atau Pucuk
Umun Pulasari, menjadi penguasa Kerajaan Sunda Pajajaran selama 12 tahun, dari
tahun 1489 Saka (1567 Maselv) hingga tahun 1501 Saka (1579 Masehi). Sedangkan
Panembahan Yusuf, menjadi penguasa Surasowan Wahanten selama 10 tahun, dari
tahun 1492 Saka (1570 Masehi), hingga tahun 1502 Saka (1580 Masehi).
***
Oh jadi begitu ya kisahnya, terima kasih ya
BalasHapus