I.
PURWAYUGA
Sedemikian jauh, di
Tatar Sunda belum ditemukan fosil manusia yang berasal dari lapisan Pleistosen‑Bawah,
maupun dari lapisan Pleistosen‑Tengah. Akan tetapi, dengan ditemukannya fosil
manusia Pithecanthropus Mojokertemis dan Meganthropus Palaeojavanicus dari
lapisan tanah PleistosenvbTengah di Jetis dekat Sangiran (Mojokerto), kemudian
ditemukan pula fosil manusia dari lapisan Pleistosen‑Tengah di Trinil tepi
Bengawan Solo dari jenis Pithecanthropus Erectus kemungkinan yang sama, bisa
saja terjadi di Tatar Sunda.
Sebelum kemungkinan itu
terbukti, berdasarkan Naskah Pangeran Wangsakerta dalam Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara Parwa
I Sarga 1, dikemukakan kisah tentang Purwayuga (Zaman Purba), antara lain
sebagai berikut:
...// witan sarga kala niking bhumitala /
bhumitala pinakagni dumilah mwang usna //prayuta warsa tumuli kukm peteng rat
bhumandala canaih canaih dumanarawata sirna / bhumi mahatis yadyastun mangkana/
tatan hang jang gama / ateher bhumandala nikang dadi prawata lawan
sagara//prayuta warsa tumuli dadi to sthawarahalit ateher dadi to janggama
prakara satwa / ateher satwekang hanengsagara/makadi mina mwang sarwa mina //
ri huwus ika prayuta warsa tumuli sthawarekang nanawidha mwang ring samangkana
dadi to jang gama satwa raksasanung nanawidha prakaranya/atehersanuwa jang gama
satwa binturun mwang sadwa lenya waneh/ kadi waraha / turangga mwang lenya
manih // ateher prayuta wana tumuluy dadi to janggama prakara manusadhama lawan
tatan pcmna// liana Pwa Purwwajanma purusa satwa/ atelier lawasira mewu iwu
warsa manih / akre ti saparwa satwa sapxarwa manusa// lawas ri huwus ika dadi
to purusakara/ ateher manusadhama mwang wekasan dadi ta purusa pumna //a. (Wangsakerta,1677: 2422)
Terjemahan:
Pada awal masa
penciptaan permulaan bumi (bhumitala), permukaan bumi menyerupai api yang
bercahaya dan menyala. Berjuta juta tahun kemudian asap gelap di seluruh muka
bumi secara berangsur‑angsur dan terus menerus seluruhnya menghilang. Bumi
menjadi dingin. Namun demikian, belum ada mahluk hidup. Kemudian, permukaan
bumi ini menjadi gunung-gunung dan lautan.
Beberapa juta
tahun kemudian muncullah tumbuh‑tumbuhan kecil, lalu muncul mahluk hidup berupa
hewan; kemudian hewan yang hidup di lautan seperti ikan dan sejenisnya.
Beberapa juta tahun kemudian, muncul berjenis‑jenis tumbuhan dan hewan raksasa
yang beraneka ragam jenisnya; kemudian bermacam‑macam mahluk hewan unggas serta
hewan lainnya seperti babi hutan dan kuda.
Berjuta juta tahun
kemudian, muncullah mahluk hidup berwujud manusia tingkatan rendah dan belum
sempurna. Mereka adalah manusia purba, manusia hewan, yang seterusnya setelah
beribu‑ribu tahun kemudian berwujud separuh hewan separuh jenis manusia
sempurna.
Kira‑kira
1.000.000 tahun sampai 600.000 tahun yang silam di Nusantara, terutama di Pulau
Jawa, hidup manusia yang masih rendah pekertinya dan bersifat seperti hewan.
Ada juga yang menyebutnya manusia hewan (satwa‑purusa) dari zaman purba, karena
mereka berlaku seperti setengah hewan. Di antaranya ada yang menyerupai kera,
besar dan tinggi sosok tubuhnya, tanpa busana. Ada pula yang seperti raksasa,
tubuhnya berbulu dan kejam perangamya.
Ada jenis lain lagi di
daerah hutan dan pegunungan yang lain. Mereka mirip kera. Ada yang tinggal di
atas pohon, di lereng gunung dan tepi sungai. Mereka berkelahi dan membunuh
tanpa menggunakan senjata, hanya menggunakan tangan. Mereka tidak berpakaian
dan tidak memiliki budi pekerti seperti manusia sekarang. Kesenangannya ialah
berayun‑ayun pada cabang pohon. Manusia hewan ini terdapat di hutan pulau Jawa,
hutan Sumatera, hutan Makasar, dan hutan Kalimantan (Bakulapura).
Di
daerah lain di Pulau Jawa, antara 750.000 sampai 300.000 tahun yang silam,
hidup manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia. Kulitnya berwarna
gelap, tingkah lakunya baik dan lebih cerdas dibandingkan dengan manusia hewan
yang berjalan seperti hewan. Tiap hari mereka membuat senjata dari bahan tulang
dan batu. Mereka selalu diserang oleh sekelompok manusia hewan yang menyerupai
kera. Pertempuran di antara kedua kelompok itu selalu seru. Akan tetapi,
manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia itu lebih mahir dalam teknik
berkelahi, sehingga akhirnya mahluk manusia hewan yang berjalan seperti hewan
itu habis terbunuh tanpa sisa dan lenyap dari muka burni. Manusia hewan yang
berjalan seperti manusia itu, disebut juga manusia raksasa (bhutapurusa). Mereka
tinggal di dalam goa di lereng gunung.
Manusia jenis ini
akhirnya punah karena sejak 600.000 tahun yang silam mereka banyak dibunuh oleh
manusia pendatang dari benua utara. Mereka berasal dari Yawana lalu menyebar ke
Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Pulau Jawa. Kira‑kira 250.000 tahun yang
silam, manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia itu habis binasa.
Zaman ini oleh para mahakawi dinamai masa purba yang pertama (prathama purwwayuga).
Sementara itu, antara
500.000 sampai 300.000 tahun yang silam, di Sumatera, Jawa Kulwan (Barat) dan
Jawa Tengah, hidup manusia yaksa (yaksapurusa)
karena rupa mereka seperti yaksa atau danawa. Mereka bertubuh
tegap dan tinggi serta senang meminum darah manusia sesamanya, musuh, ataupun
binatang. Perangainya kejam dan bertabiat seperti binatang buas. Mahluk jenis
ini pun akhirnya punah karena banyak terbunuh dalam pertempuran dengan kaum
pendatang baru dari benua utara.
Seterusnya,
antara 300.000 sampai 50.000 tahun yang silam, di Jawa Barat dan Jawa Tengah
pernah hidup manusia berwujud setengah yaksa (manusia yaksa mantare). Kelompok
manusia ini belum diketahui asal-usulnya sebab hampir sama rupanya dengan
manusia yaksa yang punah. Akan tetapi bertubuh lebih kecil, berwarna kuit agak
gelap, tidak banyak berbulu, serta susila dan cerdas jika dibandingkan dengan
manusia yaksa yang telah punah. Kelompok inipun akhirnya punah karena didesak,
diburu, dan akhirnya dibinasakan oleh kaum pendatang dari benua utara. Periode
ini oleh para mahakawi (pujangga besar) disebut masa purba yang kedua (dwitiya purwwayuga).
Selanjutnya, pernah pula
hidup manusia kerdil (wamanapurusa)
atau danawa kecil. Mereka itu berwujud yaksa kecil sehingga oleh para mahakawi
dinamakan manusia kerdil. Mereka hidup antara 50.000 sampai 25.000 tahun yang
silam. Mereka tidak cerdas. Senjata dan perabotannya terbuat dari batu, tetapi
buatannya tidak bagus, mahluk jenis inipun akhimya punah. Zaman ini oleh para
mahakawi disebuf masa purba pertengahan (madya
ning purwwayuga) atau masa purba ketiga (tritiya purwwayuga).
Ke dalam zaman tersebut,
termasuk pula masa hidup jenis manusia kerdil yang bertubuh besar (wamana purusagheng) atau
manusia Jawa‑purba. Mereka menetap di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara 40.000
sampai 20.000 tahun yang silam. jumlahnya tidak banyak. Mereka ini pun akhirnya
punah karena bencana alam, saling bunuh di antara sesamanya, dan akhirnya
seperti juga nasib penghuni Pulau Jawa yang lain, dihabisi oleh kaum pendatang
dari benua utara.
II.
PENDATANG
DARI UTARA
Dalam buku Geografi
Kesejarahan II Indonesia (1984), yang mengacu kepada hasil penelitian para
akhli, Daldjoeni mengemukakan pendapatnya tentang asal‑usul ras Melayu, antara
lain:
Di Hindia belakang ada
dua pusat persebaran bangsa. Dari daerah Yunnan di Cina Selatan, berangkatlah
suku‑suku yang tergolong Proto Melayu tua dan dari dataran Dongson di Vietnam
Utara (Daldjoeni,1984:1).
Yunnan, yang disebut-sebut sebagal daerah asal
kelompok Melayu tua di Cina Selatan, dijelaskan pula oleh Ales Bebler, antara
lain:
Merupakan dataran tinggi
kering dengan ketinggian rata‑rata 1000 meter di atas permukaan laut. Alamnya
tertutup oleh rerumputan, pepohonan yang rendah dan semak belukar. Wilayahnya
terbelah‑belah oleh jurang-jurang yang cukup dalam sehingga membatasi gerak
penduduknya dalam mengusahakan pangan. Mata pencaharian mereka aslinya berburu
dan mengumpulkan buah‑buahan. Dalam perkembangan selanjutnya mereka beralih ke
usaha peternakan dan pengolahan tanah secara primitif.
Asal bangsa Indo‑mongolid,
yang jelas adalah Cina Selatan, akan tetapi sebagian dari mereka itu dahulunya
datang dari Tibet Timur. Mungkin keributan di Asia Tengah itu menjalar ke Cina
Selatan. Dari sini terjadi migrasi ke wilayah Asia Tenggara yang relatif masih
kosong, melalui jurang-jurang dan lembah‑lembah sungai di Cina, Birma dan Siam.
Tekanan di Cina Selatan agaknya bertalian erat dengan mulai berkembangnya
kerajaan Cina yang dengan tegas akan tetapi bertahap menghendaki sinifikasi
bagi seluruh wilayahnya sampal batas selatannya yakni garis pegununan Himalaya‑Nanling
(Daldjoeni,1984: 3, 9‑10).
Pada
naskah Pustaka Rajayarajya i Bhunri Nusantara parwa I sarga 1, dikemukakan
peristiwa sebagal berikut:
Perpindahan (panigit) manusia
pendatang dari benua utara: Yawana, Campa, Syangka, dan dari daerah-daerah
sebelah tirnur Gaudi (Benggala) menyebar ke Ujung Mendini (Semenanjung
Malaysia), Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kutalingga, Gowa, Makasar, dan pulau‑pulau
lain di sebelah belahan timur Nusantara, termasuk Nusa Bali. Mereka tiba di
Nusantara kira‑kira 20.000 tahun sebelum tarikh Saka.
Manusia yaksa kerdil (wamana purusa), sebagal
pribumi berperangai buas dan kejam seperti hewan. Oleh sebab itu mereka
diperangi dan dikalahkan oleh para pendatang baru.
Sementara itu, manusia
purba yang hidup antara 25.000 sampal 10.000 tahun yang silam tidak punah sebab
mereka berbaur menjadi satu. Banyak wanita manusia purba itu berjodoh dengan
Aria dari kaum pendatang baru. Kerukunan, kerjasama dan perjodohan di antara
kedua belah pihak, telah menyelamatkan kelompok manusia purba dari bahaya
kepunahan.
Adapun, kaum pendatang
baru dari benua utara tersebut tergolong manusia cerdas. Mereka membuat
perkakas dan senjata dari batu, kayu, tulang, bambu, serta bahan‑bahan lain
dengan hasil yang hampir bagus (meh
wagus). Menurut para mahakawi masa kedatangan orang‑orang dari
benua utara tersebut, dinamakan sebagai masa purba keempat (caturtha purwwayuga).
Dari 10.000 tahun sebelum tarikh Saka, sampal tahun
pertama Saka, terjadi perpindahan secara bergelombang, kelompok pendatang dari
benua utara, yaitu:
1. antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum
tarikh Saka;
2. antara 5.000 sampai 3.000 tahun sebelwn
tarikh Saka;
3. antara 3.000 sampai 1.500 tahun sebelum
tarikh Saka;
4, antara 1.500 sampai 1.000 tahun sebelum
tarikh Saka;
5. antara 1000 sampal 600 tahun sebelwn
tarikh Saka;
6. antara 600 sampai 300 tahun sebelum
tarikh Saka;
7. antara 300 sampai 200 tahun sebelum
tarikh Saka;
8. antara 200 sampal 100 tahun sebelwn
tarikh Saka;
9. antara 100 sampai awal tarikh Saka.
Pada masa itu disebut sebagai masa purba kelima (pancama purwwayuga).
III.
AKI
TIREM SANG AKI LUHUR MULYA
Orang‑orang yang datang
berturut‑tarut dari berbagai daerah itu masing-masing ada pemimpinnya. Di
antara keturunannya ada yang saling berperang, lalu mereka yang telah lebih
dahulu datang dan telah lama menetap dikalahkan oleh kaum pendatang baru. Akan
tetapi, ada juga yang saling mengasihi dan saling membantu karena mereka
mempunyai tujuan yang sama.
Semakin lama, penduduk
ini semakin meresap dan menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Adapun yang
menyebabkan kaum pendatang itu sangat senang dan tinggal di sini (Nusantara)
adalah:
1. pulau‑pulau di bumi Nusantara ini
subur tanahnya;
2. subur tumbuh‑tumbuhannya;
3. kehidupan penduduknya bahagia;
4. serbaneka rempah‑rempah ada di
sini; dan
5. menjadikan kehidupan penduduk
makmur sejahtera.
Adapun pakaian yang
dikenakan pribumi di sini berupa cawat kayu, daun-daunan, atau rumput. Mereka
selalu membawa tombak, gada, busur, dan panah, serta berbagai jenis senjata
lainnya. Mereka tinggal di hutan, ada yang hidup berkelompok, ada juga yang
selalu bersembunyi, ada yang mernisahkan diri, ada pula yang bersama
keluarganya di lereng bukit.
Tiap kelompok yang hidup
di salah satu kampung, dipimpin oleh seorang Panghulu sebagai penguasa kampung.
Rumah Sang Panghulu, selalu dijadikan sebagai tempat bermusyawarah. Rumah sang
pemimpin ini, terhitung besar dan berpanggung (berkolong), sedangkan beberapa
keluarga penduduk tinggal bersama dalam satu rumah di bawah pimpinan seorang
kepala rumah tangga yang sudah cukup berumur dan terpandang. Demikian pula
halnya dengan Sang Panghulu, ia adalah orang yang sangat berwibawa. Di Jawa
Kulwan (Barat) ada beberapa panghulu pribumi semacarn itu. Demikian pula di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan pulau‑pulau lain di Nusantara. Keadaan itu
terjadi sebelum awal tarikh Saka.
Mereka datang di
Nusantara dengan menumpang perahu dari kayu besar berbentuk rakit (getek),
tetapi ada juga yang memakai perahu dari betung besar atau kayu hutan. Di atas
rakit itu didirikan rumah dengan atap rumput. Mereka bertolak dari daerah
asalnya, dan siang malam mereka berperahu dari hilir sungai ke arah selatan,
menuju lautan. Akan tetapi, ada juga yang tempat tinggal asalnya di tepi laut.
Mereka berlayar ke beberapa pulau, sampai akhirnya mereka itu tiba di Pulau
Jawa. Banyak di antara perahu‑perahu itu hancur di tengah laut, karena dihantam
ombak atau terseret angin besar, sehingga perahunya terlunta‑lunta dan terpisah
dari kelompok perahu lainnya.
Adapun yang menyebabkan pengungsian besar (panigit agheng) itu,
adalah:
1. tempat asalnya selalu kekeringan;
2. terjadi bencana gempa bumi; dan
3. musim kemarau yang berkepanjangan.
Akibatnya, mereka
menderita kekurangan makanan, dan terpaksa hidup di hutan memakan daun-daunan,
tumbuhan, tunas, dan daging hasil buruan. Karena itulah, mereka senantiasa
ingin mencari tanah yang subur di pulau-pulau Nusantara. Satu di antaranya
adalah Nusa Jawa.
Setibanya di sini,
mereka menetap dan hidup bersama ibarat satu keluarga. Anak, cucu, dan
keluarga, masing‑masing membuat rumah. Rumah mereka itu berderet; ada yang
kecil dan ada yang besar dan tinggi. Untuk sementara, makanan sehari‑hari
adalah daging hasil berburu di hutan. Lama kelamaan, tempat tinggal mereka itu
menjadi kampung (dukuh). Pakaian sehari‑hari terbuat dari kulit kayu.
Adapun kehidupan
penduduk lama dan baru itu, hampir sama seperti di negeri asal mereka. Makanan
sehari-harinya adalah daging, ikan, buah‑buahan, tunas, daun-daunan, umbi‑umbian,
dan rempah‑rempah. Sang Panghulu yang menjadi pemimpinnya, menguasai berbagai
ilmu mantera, selalu bertapa, melaksanakan sembah‑hiyang, melepaskan rakyatnya
dari ancaman bencana sihir, memberi berkah, mernimpin upacara perkawinan dan
berdoa, melindungi adat, serta bertindak adil dan bersikap lemah lembut.
Singkatnya, Sang Panghulu yaitu Sang Datu, siang malam selalu mengharapkan agar
rakyatnya hidup sejahtera, dan kampung tempat tinggal mereka makmur sentosa di
bumi ini.
Yang dipuja penduduk
waktu itu bermacam‑macarn, tetapi yang terutama ialah arwah leluhur (hiyang).
Mereka memohon kepada arwah yang dipujanya dengan doa pujaan lengkap, dengan
tata upacara dan sembah‑hiyang serta sajen. Tujuannya adalah agar terkabul cita‑citanya.
Ada yang ingin terlepas dari kenistaan, bertambah hasil usaha tani atau
dagangnya, mengharap unggul dalam perang atau perkelahian, mengharap terlepas
dari penderitaan, lalu orang yang susah mengharap kesejahteraan dan banyak
harta, ada pula pria yang ingin mendapat isteri atau wanita yang rnengharapkan
suami. Ada lagi yang mengharapkan kegagahan, mengalahkan musuhnya, mengharapkan
berumur panjang, serta terluput dari bahaya dan macam‑macam harapan lagi.
Serbaneka pemujaan
mereka adalah api, gunung, arwah leluhur, batu, pohon besar, kayu, darah,
sungai, matahari, bulan dan bintang. Ada pemuja roh yang bersemayam di puncak
gunung, karena menganggap roh penguasa isi gunung di seluruh dunia. Ada pula
Yang memuja pohon rimbun.
Ada beberapa keluarga
yang memasuki hutan dengan membawa harta bendanya, lalu menetap di sana. Mereka
berburu hewan, lalu kulitnya dijadikan bahan pakaian, sedang dagingnya
dijadikan bahan makanan. Pakaian kulit itu ada yang diberi lukisan menurut
kehendak masing-masing, sedangkan batu‑batuan dan tulang, dijadikan perhiasan
untuk anak isterinya dan berbagai macam perkakas.
Akan tetapi, pendatang
baru makin lama makin banyak, sehingga orang pribumi terdesak dan hidup
terlunta‑lunta memasuki hutan dan pegunungan. Terjadilah pengungsian besar‑besaran,
karena kaum pendatang itu senantiasa memberikan kesusahan, kesengsaraan, dan
kenistaan bagi orang pribumi, seolah mereka itu hamba sahaya bagi kaum
pendatang baru. Kaum pribumi, merasa terhina dan sangat takut, karena siapapun
di antara mereka yang berani melawan, akan ditangkap dan dibunuh. Kaum pribumi
itu selalu kalah, karena mereka bodoh dan dalam segala hal terbelakang.
Sebaliknya, kaum pendatang baru memiliki berbagai
ilmu pengetahuan, yaitu membuat panah dan perkakas dari besi, telah mengenal
emas, perak, manik, permata, menguasai ilmu pembuatan busur dan panah (wedastra), dan ilmu
memanah (dhanurweda),
serta membuat aneka obat‑obatan, dan perahu dengan baik. Mereka telah menanam
padi untuk kepeduan makan sehari‑hari, mengetahui ilmu perbintangan (panaksastra), membuat
pakalan dan perhiasan yang indah dan bagus karena dihiasi ukiran, serta membuat
wayang dari kulit diukir. Mereka pun telah mampu mendirikan rumah besar untuk
keluarga, membuat api dengan batu api dan besi, serta membuat tabuh‑tabuhan
untuk mengiringi tari.
Di samping itu, mereka
telah menyusun peraturan tentang kampung dan uang, serta memiliki pengetahuan
tentang gerhana, gempa bumi, ukuran, makanan, hari, tumbuhan, musim hujan,
musim kemarau, ilmu tentang hutan, tentang hewan, tentang tanah, tentang
gunung, tentang ucapan, lalu ilmu tentang rempah‑rempah, hutan dan gunung,
ekonomi (swataning janapada)
dan sebagainya.
Kaum pendatang dari
negeri Yawana dan Syangka, yang termasuk ke dalam kelompok manusia purba‑tengahan
(janna puruwwamadya),
tiba kira-kira tahun 1.600 sebelum tarikh Saka. Kaum pendatang baru yang tiba
di Pulau Jawa antara tahun 300 sampal 100 sebelum tarikh Saka, telah memiliki
ilmu yang tinggi (widyanipuna).
Mereka telah mengetahui cara memperdagangkan beraneka barang. Kaum pendatang
kelompok ini, menyebar ke pulau‑pulau di Nusantara.
Zaman ini, oleh para
mahakawi disebut zaman Besi (wesiyuga),
karena mereka telah mampu membuat berbagai macam barang dan senjata dari besi,
serta telah mengenal penggunaan emaa dan perak. Mereka merasuk ke desa‑desa
yang dikunjunginya, seolah‑olah Pulau Jawa dan pulau‑pulau di Nusantara ini
kepunyaan mereka semuanya. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghalangi,
segera dikalahkan, sehingga bukan saja maksudnya tidak berkesampaian, mereka
pun harus menjadi bawahan yang tunduk kepada yang berkuasa.
…/ hana pwa sang
panghulu athawa pangamasa mandala pasisir Jawa kulwan / bang kulwan ika
prarrucnaran aki tirem athawa sang aki luhunnulya ngaranira waneh //
Terjemahannya:
Adapun, panghulu atau
penguasa wilayah pesisir barat Jawa Barat sebelah barat, namanya Aki Tirem atau
Sang Aki Luhur Mulya nama lainnya.
Selanjutnya, dalam naskah tersebut dikemukakan,
tentang silsilah (asalusul) leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya:
Adapun Sang Aki Tirem,
putera Ki Srengga namanya.
Ki Srengga putera Nyal
Sariti Warawiri namanya.
Nyai Sariti puteri Sang Aki
Bajulpakel namanya.
Sang Aki Bajulpakel,
putera Aki Dungkul namanya dari Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan,
kemudian berdiam di Jawa Barat sebelah barat.
Selanjutnya Aki Dungkul,
putera Ki Pawang Sawer namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah
selatan.
Ki Pawang Sawer, putera
Datuk Pawang Marga namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan.
Datuk Pawang Marga,
putera Ki Bagang namanya berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah utara.
Ki Bagang, putera Datuk
Waling namanva, yang berdiam di pulau Hujung Mendini.
Datuk Waling putera
Datuk Banda namanya, ia berdiam di dukuh di tepi sungai.
Datuk Banda putera Nesan
namanya, berdiaiu di wilayah Langkasuka.
Sedangkan nenek
moyangnya dari negeri Yawana sebelah barat.
Jika mencermati The Hammond Atlas (terbitan Time, 1980, USA), di wilayah
Propinsi Yunnan, terdapat sebuah kota kecil Yu‑wan, yang terletak di tepi
sungal Yuan‑Mouw. Yu‑wan dalam bahasa Cina, ada kemiripan dengan Ya‑wa‑na, yang
terdapat dalam naskah Pustaka Wangsakerta. Oleh karena itu, kota Yu‑wan, diduga
kuat merupakan tanah leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya.
Sedarrgkan Yunnan
sendiri, menurut para akhli, merupakan lembah bagian hulu sungai Yang Tze
Kiang, yang mata airnya berasal dari pegunungan Himalaya bagian timur laut. Di
wilayah ini sering terjadi gempa bumi, yang disebabkan adanya pergeseran
lempeng anak benua India, yang bergerak ke arah utara dan membentur lempeng
Asia. Sehingga membentuk pegunungan Himalaya, yang membentang dari arah barat
di wilayah Kashmir, ke timur hingga ke wilayah perbatasan China, India dan
Burma (Myanmar).
Adanya benturan dua
lempeng tersebut, menimbulkan gempa tektonik, di sekitar wilayah bagian utara
dan bagian timur laut pegunungan Himalaya. Bencana lain yang sering terjadi di
wilayah ini, adalah banjir bandang (mendadak) yang sangat besar. Penyebabnya,
akibat pencairan es; di puncak Himalaya pada saat musim semi.
IV.
SURGA
DI MUKA BUMI
Bertambah lama, orang
yang datang baru bertambah banyak. Dengan demikian orang pribumi terkucilkan,
berkeliaran tanpa tujuan. Mengembara di hutan dan gunung‑gunung, bertambah
banyaklah yang jadi pengungsi. Karena orang pendatang baru, senantiasa
menyebabkan penderitaan yang terus‑menerus. Golongan pribumi senantiasa
dihinakan.
Kenyataannya, ada di
bawah perintah orang‑orang pendatang baru, terutama karena orang pribumi
bertabiat pemalu dan penakut. Biarpun sering melawan, tetapi mereka dapat
ditangkap dan dibunuh. Orang‑orang pribumi senantiasa kalah, karena bodoh,
segalanya terbelakang. Sedangkan orang pendatang baru memiliki berbagai
pengetahuan, ialah membuat senjata dari besi, berbagai perkakas dari besi, juga
emas, perak, manik, kristal, kendaraan. Selanjutnya membuat berbagai senjata
dari besi dengan gelang anak‑panahnya, pengetahuan tentang memanah, juga
membuat berbagai obat‑obatan, begitu pula membuat perahu bagus. Mereka menanam
padi, yang dijadikan makanan sehari‑hari.
Mereka juga telah
mempunyal pengetahuan tentang perbintangan, membuat perlengkapan perang dari
besi, membuat pakaian dan perhiasan yang indah‑indah. Bahkan diberi berbagai
lukisan dan diukir pada besi itu. Wayang, dibuat dari kulit yang diukir. Mereka
telah mampu membuat rumah besar, yang dihuni suami‑isteri dan kerabat laki‑laki
dan wanita, membuat api dengan pemantik (paneker)
dari batu dan besi. Selanjumya, mereka membuat tabuh-tabuhan pengiring orang
menari. Kemudian dibuat kebijakan tentang perilaku yang baik di dusun, perilaku
mengenai alat penukar. Mereka memiliki pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi,
pengetahuan tentang ukuran panjang: (1 yojana =100.000 depa), tentang makanan
yang lezat, pengetahuan tentang hari, berbagai tumbuh‑tumbuhan, (musim)
penghujan dan kemarau, pengetahuan tentang laut, pengetahuan tentang berbagai
binatang, juga pengetahuan tentang tanah, gunung, dan pengetahuan tentang tutur
kata.
Selanjutnya, mereka
memiliki pengetahuan tentang rempah‑rempah, pengetalruan tentang hutan dan
gunung, kesejahteraan warga masyarakat dan sebagainya. Bahkan, pendatang baru
yang belakangan dari negeri Yawana, negeri Syangka, negeri Campa, Saimwang
serta negeri Bharata (India) sebelah selatan, sangatlah pandai berbagai
pengetahuan, yaitu manusia yang mahir ilmu pengetahuan, dikatakan oleh pribumi.
Sedangkan pribumi di situ, ialah orang‑orang pendatang yang telah lama membuat
perkakas dari batu, kayu dan tulang. Pakalan mereka dari serat kulit kayu,
karena itu mereka disebut manusia purba‑pertengahan oleh mahakawi (pujangga
besar) dalam tulisan mereka.
Dikatakannya, bahwa
orang‑orang pendatang baru dari negeri Yawana dan negeri Syangka, termasuk
manusia‑purba pertengahan, kira‑kira seribu enam ratus tahun sebelum permulaan
tahun Saka. Ada juga pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa, di antara tiga
ratus tahun dan seratus tahun sebelum permulaan tahun Saka yang pertama. Mereka
telah mahir dalam pengetahuan, sudah tahu mengenai hasil dari jasa dan
perdagangan segala perlengkapan.
Pendatang ini menyebar
ke pulau-pulau di bumi Nusantara. Demikianlah uraianmahakawi (pujangga
besar), pada waktu itu disebut zaman besi. Itulah sebabnya mereka membuat
berbagai perlengkapan perang, anak panah dan sebagainya dari besi, emas, dan
perak. Mereka lebih pandai berbagai pengetahuannya. Oleh karena itu, mereka
kemudian menyerang desa-desa yang didatangi, akibatnya Pulau Jawa dan pulau‑pulau
di Nusantara menjadi milik mereka seluruhnya. Barang siapa yang tidak tunduk
segera dibinasakan. Apabila bermaksud menyerang dan memeranginya, secepatnya
dibinasakanlah mereka itu kemudian, maka maksud mereka tidak terlaksana, serta
menyebabkan mereka menjadi manusia yang hina, sebagai pelayan orang yang
berkuasa.
Begitu pula di antara
seratus tahun pertama sebelum tahun Saka, hingga pertama tahun Saka, orang
pendatang dari beberapa negara yang terletak di sebelah timur negeri Bharata
(India). Oleh karena itu zaman besi disebut juga manusia pada zaman purba.
Pada awal tarikh Saka,
datang orang-orang dari barat, yaitu dari negeri Syangka (Sri Langka), Sayiwahana,
dan Benggala di bumi Bharatawarsya (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan
perahu. Mula-mula, mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat, karena
kegiatan perdagangan dengan penduduknya. Pribumi di sini, asal-usulnya juga
orang‑orang pendatang dari kawasan benua utara, yang leluhurnya tiba di Pulau
Jawa beberapa ratus tahun lebih dahulu.
Barang barang yang
dibawa oleh para pendatang baru ini, di antaranya: bahan pakaian, perhiasan
berupa ratna, emas, perak, permata, mustika, obat‑obatan, bahan‑bahan makanan,
serta perabot kebutuhan rumah tangga. Adapun bahan‑bahan yang dibelinya di
sini, yaitu rempah‑rempah serta hasil bumi seperti beras dan sayuran.
Di
antara mereka ada yang terus menetap di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Nusa Bali. Demikian pula di Sumatera, dan di pulau‑pulau
lain di Bumi Nusantara, yang disebut juga Dwipantara. Karena
penduduk Pulau Jawa telah menguasai berbagai ilmu, mereka sangat menghargainya,
tidak bermusuhan, dan kaum pendatang diterima sebagai tamu dengan penuh rasa
kasih dan rasa persaudaraan.
Kehidupan penduduk di
sini makmur. Mereka menamakan pulau‑pulau di bumi Dwipantara ini, terutama
Pulau Jawa, laksana surga di muka bumi (samyasanya
swargaloka haneng prethiwitala). Oleh karena itu, mereka selalu
merasa bahagia hidupnya. Demikianlah keadaan mereka itu selama tinggal di sini.
Banyak di antara mereka yang memperisteri gadis di sini, kemudian beranak
pinak. Mereka mengetahui bahwa Pulau Jawa subur tanahnya, subur tumbuh‑tumbuhannya.
Oleh karena itu, beberapa tahun kemudian, datanglah orang-orang dari
Langkasuka, Saimwang, dan Ujung Mendini ke Jawa Kulwan (Barat) dan bumi
Sumatera dengan perahu. Lalu mereka menetap di situ, karena berjodoh dengan
putri penduduk. Selanjutnya mereka tidak kembali ke negeri asalnya. Kemudian
mereka masing‑masing mendirikan rumah besar untuk tinggal keluarganya. Kolong
rumah itu, digunakan untuk kandang tempat hewan peliharaan mereka.
Mereka bergabung untuk
bergotong royong (samakarya),
membangun rumah dan menebang pohon di hutan. Ikut pula bergabung akhli pembuat
rumah (hundagi) dan
pandai besi.
Para pendatang dari
India itu, ada yang mengajarkan agama yang dianutnya dan menyiarkan kepada
penduduk di desa‑desa. Mereka mengajarkan pujaan yang disebut Dewa Iswara,
yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa yang disebut Trimurtiswara.
Juga masih banyak Dewa lain yang dipujanya selain itu. Walaupun demikian,
mereka tidak saling bertentangan dalam menyebarkan agamanya, karena mereka
berhasil menemukan cara yang tepat.
Penduduk di sini
keturunan kaum pendatang juga. Sejak dahulu, mereka memuja roh, bulan, matahari,
dan sebagainya. Singkatnya, mereka itu mernuja roh (pitarapuja). Kaum pendatang baru dari India
Selatan itu, telah rnenguasai berbagai ilmu, karena mereka telah mempelajarinya
di negeri asalnya. Mereka tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di
sini. Hanya nama pujaannya yang diganti, disesuaikan dengan adat penduduk di
sini.
Dengan cara demikian,
mereka tidak menemukan kesulitan untuk mempelajarinya. Demikianlah, pemujaan
api disamakan dengan pemujaan Dewa Agni, pemujaan matahari disamakan dengan
Dewa Aditya atau Dewa Surya, dan seterusnya. Adapun pemujaan roh besar,
disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang Brahma yang
disebut pemujaan tiga dewa atau trimurti. Tak lama kemudian, banyaklah penduduk
di sini yang memeluk agama baru itu.
Sementara itu, banyak di
antara para pendatang yang menikahi puteri para Penghulu penduduk desa. Kelak,
anaknya akan menggantikan kedudukan kakeknya. Oleh karena itu, desa‑desa di
Pulau Jawa makin lama makin dikuasai oleh keturunan kaum pendatang. Demikian
pula penduduk dan kekayaannya. Segera pula penduduk menjadi tidak berdaya.
Panghulu desa itu telah dijunjungnya menjadi sang penguasa. Putera pendatang
baru atau cucu Sang Panghulu, menjadikan semua tanah sebagai miliknya atau
berada di bawah kekuasannya.
Sementara itu, keadaan
desa-desa tetap makmur dan hasil pertanian melimpah, karena Pulau Jawa subur
tanahnya. Demikianlah pula pulau‑pulau lain di Dwipantara. Oleh karena itu,
antara tahun 80 sampai 320 Saka, sangat banyak perahu yang datang dari berbagai
negeri ke Pulau Jawa, di antaranya dari negeri India, China, Benggala, dan
Campa. Banyak di antara mereka itu, yang membawa anak‑isteri berserta sanak
keluarganya, lalu menetap di Pulau Jawa dan pulau‑pulau lain di Nusantara dan
menjadi penduduk di situ.
Ada yang datang membawa
perahu besar, ada yang datang beserta pendeta agarna Wisnu dan agama lainnya.
Setiba di sini, mereka lalu mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa.
Kemudian mereka pun tinggal di situ. Adapun pendeta agama Siwa, datang dari
Jawa Timur dan Jawa Tengah, mengajarkan agama mereka kepada para panghulu dan
pemuka masyarakat di sana.
V.
DEWAWARMAN
Berdasarkan naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
I sarga 1, oleh Pangeran Wangsakerta, diriwayatkan sebagai berikut:
/jwah tambaya ping
prathama sa kawarsa riking wus akweh wwang bharata nagari tekan jaruadwipa
mwang nusantara i bhumi nusantara// denira pramanaran dwipantara nung wreddhi
prethiwi// pantara ning sinarung teka n jawadwipa/ hana n upakriya wikriya/
hansing mawarah marahaken sanghyang agama/ hanasing luputaken sakeng bhaya
kaparajaya/ ya thabhuten nagarinira/ mwang moghangde nikang agong panigit ring
nusa‑nusa i bhumi nusantara//a
Terjemahanannya:
Kelak, mulai awal
pertama tahun Saka di sini telah banyak orang‑orang negeri Bharata (India) tiba
di Pulau Jawa dan pulau‑pulau di bumi Nusantara. Karena Nusantara terkenal
sebagai tanah yang gembur. Di antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa, ada yang
berdagang dan mengusahakan pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama
(ajaran agama), ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakan
dirinya, seperti yang telah terjadi di negeri asalnya, yang menyebabkan
mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusantara.
Karena mereka semua
mengharapkan kesejahteraan hidupnya bersama anak isterinya. Terutama para
pendatang, banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di
bumi negeri Bharata (India). Dua wangsa inilah, yang sangat banyak berdatangan
di sini, dengan menaiki beberapa puluh buah perahu besar‑kecil. Yang dipimpin
oleh Sang Dewawarman, tiba mula-mula di Jawa Kulwan (Barat), maka mereka
bertujuan yaitu untuk berdagang dan mengusahakan pelayanan.
Mereka senantiasa datang
di sini, dan mereka kembali membawa rempah-rempah ke negerinya. Di sini, Sang
Dewawarman telah bersahabat dengan warga masyarakat di pesisir Jawa Kulwan
(Barat), Pulau Api dan Pulau Sumatera sebelah selatan, terutama Sang Dewawarman
sebagai duta dari wangsa Pallawa.
Permulaan pertama tahun
Saka, di pulau‑pulau Nusantara, telah banyak golongan warga masyarakat, yang
menjadi pribumi tiap dusun. Di antaranya ada yang bermusuhan, ada juga yang
berkasih‑kasihan berbimbingan tangan. Dukuh itu ada yang besar, ada yang kecil.
Dukuh besar ada di tepi laut, atau tidak jauh dari muara sungai. Bukankah
selalu berdatangan orang lain atau wilayah lain. Terutama pedagang dari negeri
Bharata (India), negeri Singhala, negeri Gaudi, negeri Cina dan sebagainya.
Ramailah kemudian dukuh‑dukuh
di tepi laut. Dengan demikian, ramailah perdagangan antara pulau-pulau di bumi
Nusantara dengan negara lain dari benua utara sebelah barat dan timur. Tetapi,
yang banyak datang dari negeri Bharata (India), golongan pendatang dari negeri
Bharata (India) itu dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba di dukuh pesisir Jawa
Kulwan (Barat).
Para pendatang itu
bersahabat dengan penghulu dan warga masyarakat di sini. Adapun penghulu atau
penguasa wilayah pesisir Jawa Kulwan (Barat) sebelah barat, namanya terkenal, Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya namanya yang lain. Selanjutnya, puteri Sang
Aki Luhur Mulya, namanya terkenal Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati),
diperisteri oleh Sang Dewawarman. Dewawarman ini, disebut oleh mahakawi
(pujangga besar) sebagai Dewawarman pertama.
Akhirnya semua anggota pasukan
Dewawarman menikah dengan wanita pribumi. Oleh karena itu, Dewawarman dan
pasukannya, tidak ingin kembali ke negerinya. Mereka menetap dan menjadi
penduduk di situ, lalu beranak pinak.
Beberapa tahun
sebelumnya, Sang Dewawarman menjadi duta keliling negaranya (Pallawa) untuk
negeri‑negeri lain yang bersahabat, seperti kerajaan‑kerajaan di Ujung Mendini,
Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, dan Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan
mempererat persahabatan dan berniaga hasil bumi, serta barang barang lainnya.
Tatkala Aki Tirem sakit,
sebelum meninggal, ia menyerahkan kekuasaannya kepada sang menantu. Dewawarman
tidak menolak diserahi kekuasaan atas daerah itu, sedangkan semua penduduk
menerimanya dengan senang hati. Demikian pula para pengikut Dewawarman, karena
mereka telah menjadi penduduk di situ, lagi pula banyak di antara mereka yang
telah mempunyai anak.
Setelah Aki Tirem wafat,
Sang Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa di situ, dengan nama nobat Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji
Raksa Gapura Sagara, sedangkan isterinya, Pohaci Larasati menjadi permaisuri, dengan nama nobat, Dewi Dwanu Rahayu. Kerajaannya diberi
nama Salakanagara (salaka= perak).
Daerah kekuasaan
Salakanagara, meliputi Jawa Kulwan bagian barat dan semua pulau di sebelah
barat Nusa Jawa. Laut di antara Pulau Jawa dengan Sumatera, masuk pula dalam
wilayahnya. Oleh karena itu, daerah- daerah sepanjang pantainya, dijaga oleh
pasukan Sang Dewawarman, sebab jalur ini merupakan gerbang laut. Perahu‑perahu
yang beralayar dari timur ke barat dan sebaliknya, harus berhenti dan membayar
upeti kepada Sang Dewawarman. Pelabuhan‑pelabuhan di pesisir barat Jawa Kulwan,
Nusa Mandala (mungkin Pulau Panaitan), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir
Sumatera bagian selatan, dijaga oleh pasukan Dewawarman.
Wangsa Dewawarman
memerintah Kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Kulwan, dengan ibukota Rajatapura (Kota Perak). Kota besar
lainnya lagi, Agrabhintapura ada di
wilayah sebelah selatan. Agrabhintapura, dipimpin oleh raja daerah bernama Sweta Limansakti, adik Dewawarman.
Sedangkan adiknya yang lain, yang bernama Senapati Bahadura Harigana Jayasakti, diangkat menjadi raja daerah penguasa
mandala Hujung Kulon.
VI.
PENERUS
TAHTA SALAKANAGARA
Dari perkawinannya
dengan Pohaci Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak yang
tertua, laki‑laki. Kelak, ia menggantikan kedudukan ayahnva sebagai penguasa di
Salakanagara, dengan nama nobat Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. la menjadi
Dewawarman lI yang memerintah dari tahun 90 sampai 11'7 Saka atau tabun 168
sampai 198 Masehi. la menikah dengan puteri keluarga Raja Singala (Sri Langka).
Dari perkawinan ini
lahir seorang putera, yang kemudian menjadi Dewawarman III dengan gelar Prabhu
Singasagara Bimayasawirya. la menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 117
sampai 160 Saka (195 ‑ 238 Masehi). Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan
bajak laut dari negeri China, yang dapat dihadapinya dan ditumpasnya.
Dewawarman III kemudian mengadakan hubungan (pamitran)
dengan maharaja China dan raja‑raja India. Permaisuri Dewawarman III berasal
dari Jawa Tengah.
Puteri tertua yang lahir
dari perkawinan ini bernama Tirta Lengkara. Puteri sulung ini berjodoh dengan
Raja Ujung Kulon bernama Darma Satyanagara. Kelak ia menggantikan mertuanya
menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman IV, yang memerintah dari tahun
160 sampai 174 Saka (238 - 252 Masehi). Dari perkawinan ini lahir puteri sulung
bernama Mahisasuramardini Warmandewi. Bersama suaminya yang bernama
Darmasatyajaya sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174‑198
Saka). Ketika Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima
angkatan laut) gugur waktu perang menghadapi bajak laut, sang rani,
Mahisasuramardini melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211
Saka (289 Masehi).
Penguasa Salakanagara
berikutnya adalah Ganayanadewa Linggabumi, putera sulung Dewawarman V atau Sang
Mokteng Samudra (yang mendiang di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa
Salakanagara sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun, dari tahun 211 sarnpai 230
Saka (289 - 308 Masehi). Dari perkawinannya dengan puteri India, ia mempunyai
tiga putera dan tiga puteri.
Putera sulungnya yang
kemudian menjadi Dewawarman VII, memerintah Salakanagara tahun 230 sampai 262
Saka (308‑340 Masehi), bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Yang kedua,
seorang puteri yang bernama Salaka Kancana Warmandewi, yang menikah dengan
menteri Kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagian timur. Puteri yang ketiga
bernama Kartika Candra Warmandewi. la menikah dengan seorang raja muda dari
negeri Yawana. Yang keempat, laki-laki bemama Gopala Jayengrana. la menjadi
seorang menteri Kerajaan Calankayana India. Yang kelima, seorang puteri bernama
Sri Gandari Lengkaradewi. Suami puteri ini adalah menteri panglima angkatan
laut kerajaan Pallawa di India. Putera bungsu Dewawarman VII adalah Skadamuka
Dewawarman Jayasastru yang menjadi senapati Salakanagara.
Putera sulung Dewawarman
VII bernama Sphatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan
ayahnya sebagai penguasa Salakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai
hubungan erat dengan kerajaan Bakulapura (Kutai) karena pertalian kerabat
permaisurinya. Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di
Kalimantan) yang bernama Atwangga putera Sang Mitrongga. Mereka keturunan
wangsa Sungga dari Maganda, yang pergi mengungsi tatkala negerinya dilanda
serangan musuh. Dari puteri ini dengan Atwangga, lahirlah Kudungga yang kelak
menggantikan ayahnya menjadi penguasa Bakulapura.
Ketika Prabu Bima
Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah Senapati Krodamaruta
dari Calankayana, di Rajatapura (ibukota Salakanagara), bersama beberapa ratus
orang anggota pasukannya, bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putera Gopala
Jayengrana, yaitu putera Dewawarman VI yang keempat. Yang menjadi menteri di
kerajaan Calankayana. Krodamaruta langsung merebut kekuasaan dan tanpa
menghiraukan adat pergantian tahta, ia menobatkan diri menjadi penguasa
Salakanagara.
Akhli waris tahta yang
sah, adalah Sphafikarnawa Warmandewi, puteri sulung Dewawarman VII. Ia belum
bersuami karena kelakuan Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekalipun ia
masih cucu Dewawarman VI, keluarga keraton beserta sebagian penduduk
Salakanagara tidak menyenanginya. Akan tetapi, Krodamaruta tidak lama berkuasa,
karena ia tewas tertimpa batu besar, ketika sedang berburu di hutan. Batu itu
berasal dari puncak sebuah bukit. Akibat peristiwa itu, Krodamaruta hanya 3
bulan menjadi `penguasa' Salakanagara.
Kemudian, Sphatikarnawa
Warmandewi, puteri sulung Dewawatman VII, dinobatkan menjadi penguasa
Salakanagara menggantikan ayahnya, pada tahun 262 Saka (340 Masehi). Pada tahun
270 Saka, Sang Rani menikah dengan saudara sepupunya, putera Sri Gandari
Lengkaradewi, yaitu puteri Dewawarman VI yang kelima. la bersuamikan panglima
angkatan laut Kerajaan Pallawa. Lengkaradewi beserta suami dan puterinya,
datang ke Rajatapura dalam tahun 268 Saka (346 Masehi) sebagai pengungsi,
karena negaranya (Pallawa) telah dikuasai oleh Maharaja Samudragupta dari
keluarga Maurya.
Setelah pernikaharmya, Rani Sphatikarnawa
Warmandewi memerintah bersama‑sama suaminya, sebagai Dewawarman VIII bergelar
Prabhu Darmawirya Dewawarman. Ia memerintah tahun 270 sampai 285 Saka (348‑363
Masehi).
Pada masa pemerintahan
Dewawarman VIII, kehidupan penduduk makmur sentosa. la sangat memajukan
kehidupan keagamaan. Di antara penduduk, ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya
tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesha, dan ada pula
yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesha atau
Ganapati.
Dewawarman VIII
mempunyai putera‑puteri beberapa orang. Yang sulung, seorang puteri bernama
Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Yang kedua, seorang
putera bernama Aswawarman. la diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga
penguasa Bakulapura, kemudian, ia dijodohkan dengan puteri Sang Kudungga. Yang
ketiga, seorang puteri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh Maharesi
Santanu, Raja Indraprahasta yang pertama. Putera Sang Dewawarman VIII yang lainnya,
tinggal di Sumatera dan menurunkan para raja di sana. Di antara keluarganya
kelak adalah sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang lain, tinggal di
Yawana dan Semenanjung. Puteranya yang bungsu menjadi putera mahkota. Kelak
setelah ayahandanya wafat, ia menggantikarmya menjadi penguasa Salakanagara.
Permaisuri Dewawarman
VIII ada dua orang. Permaisuri yang pertama ialah Rani Sphatikarnawa Warmandewi
yang menurunkan raja-raja di Jawa Kulwan dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua,
bernama Candralocana, puteri seorang brahmana dari Calankayana di India. la
menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera, Semenanjung, dan Jawa Tengah.
Demikianlah kisah
keturunan Dewawarman Darmalokapala yang menjadi penguasa Salakanagara. Kerajaan
ini berdiri sebagai kerajaan bebas, selama 233 tahun (130‑363 Masehi).
Dewawarman VIII, dianggap sebagai raja Salakanagara terakhir, sebab puteranya,
Dewawamm IX, sudah menjadi raja bawahan Tarumanagara.
VII.
CATATAN
PARA AKHLI
Sesungguhnya, berita
tentarrg pernah adanya sebuah kerajaan tertua di Nusantara, telah dilacak oleh
N. J. Krom dalam buku Het Hindoe-Tijdperk(1938:121),
sebagaimana yang dikutip oleh Atja dan Edi S. Ekadjati, dalam pendahuluan buku
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara I.I (1987: 31), antara lain sebagai
berikut:
Een naukeurig gedateerd Chineesch bericht uit 132
n. C, lidjt weer aan onzekerheid van interpretatie. In dat jaar zond ke
koningvan Yet‑two, genaarnd Pien, een gezantschap naar Cina, en kreeg genoemde
kmting Tiarrpien een eergeschenk. In den nanm van het land ia Yawadwipa, Java‑eiland,
herkencl, ruaaruit zou volgen dot op dit oogenblik het eilaed in kruestie door
de Chineezen met em Sanskritnaarn werd genoerrzd; naar zoo dadelijk zal
blijkery inderdacrdzees aannamelijk, dot het in dezen tjid zijn door de Hindoe's
gegeven naccm reeds droeg Ueel zwakker stoat de wedergave van den koningsnaarn
nit den Dewawarnrarz, hetwelk de oudste ons bekende vorstnaam uit den Archipel
zrnl z~n en teams zou veivrijzen, dot het hindoesiseeringsproces reeds een
aanvang had gr?namen, hetzij dan dot een Hindoe er zich als leaning had
neergezet of een Indonesisch vorst dien Indischen naam had aanvaard.
Untuk lebih dipahami, dikemukakan pula kutipan
terjemahannya, antara lain sebagai berikut:
Suatu berita Tionghoa jang tertanggal seksama, dari tahun
132 sesudah Masehi mendjadi samar pula, oleh karena tidak dapat ditafsirkan
dengan pasti. Dalam tahun itu tersebutlah radja Ye‑tiao jang bernama Pien dan
mengirimkan utusan ke Tiongkok dan radja Tiao‑pien tersebut memperoleh hadiah
kehormatan. Dalam nama tanah itu dapatlah dikenal Yawadwipa (Pulau Djawa), jang
mana akan berarti, bahwa diwaktu itu pula telah disebut pada nama Sanskertanja
oleh orang Tionghoa. Memang mungkin sekali, seperti akan ternjata nanti bahwa
pulau itu pada waktu itu telah memakai nama jang diberikan oleh orang Hindu.
Djauh lebih lemah tafsiran nama radja itu dengan Dewawarman, jang bukan sadja
berarti, bahwa nama radja inilah kiranja jang tertua jang kita kenal di
Nusantara, tetapi djuga akan menerangkan, bahwa proses penghinduan sudah
dimulai pada waktu itu, baik oleh karena seorang Hindu telah datang menetap dan
mendjadikan dirinja radja, maupun seorang radja Nusantara telah mengambil nama
Hindu tersebut (Effendi, 1950:11).
Bahwa
Ye‑tiao telah mengirimkan duta ke Cina pada tahun 132 M, yang disebut di dalam
Hou Han‑shu, telah dicatat oleh beberapa orang sarjana. Wolters (1967: 258)
menyebut keterangan dari Pelliot (1904: 266 69), yang menyarankan bahwa Ye‑tiao
adalah sebuah transkripsi yang permulaan tentang "jawa" dan
kesimpulan dapat ditarik tentang hubungan Cina-Indonesia paling tua pada abad
kedua Masehi. Stein (1974: 13642) mengemukakan alasan untuk percaya, di dalam
hal ini, Ye‑tiao terletak di perbatasan barat daya Cina, tetapi Demieville
(1951:336) tidak mempercayainya. Ia menyebut bahwa: "Java'
ia also a mainland South East Asian toponym; it appears in Ram Khamhaeng's
incription of 1292 in the contex of Laos". Sedangkan Fujita
Toyohachi berpikir Ye‑tiao adalah satu bentuk alternatif dari Ssu‑tiao dalam arti
Ceylon. Hal ini katanya tidak mengherankan, jika penguasa Singhala mengirimkan
satu perutusan ke Cina pada tahun 132 M., karena perutusan dari India Utara
yang tertua dari tahun 89 M. (Atja & Ekadjati,1987:32).
Sartono Kartodirdjo, mengutip tulisan NJ. Krom dalam Hindoejavaanscht
Geschiedenis (1931),
antara lain sebagai berikut:
Berita lainnya yang juga tidak dapat dipastikan
kebenarannya ialah berita Cina yang berasal dari tahun 132 M. Di dalam berita
itu disebutkan, bahwa raja Ye‑tiao yang bernama Pien, meminjamkan meterai mas
dan pita ungu kerajaannya kepada maharaja Tiao‑pien. Menurut dugaan Sarjana
Perancis G. Ferrand, Ye‑tiao dapat disesuaikan dengan Yawadwipa, sedangkan Tiao‑pien
merupakan lafal Cina dari nama Sanskerta Dewawarman (Kartodirdjo,1977:3637 )
Untuk lebih jelasnya, D.G.E. Hall, Guru Besar Emiritus
Sejarah Asia Tenggara Universitas London, mengemukakan hal yang sama, antara
lain:
Bahwa laporan orang-orang Cina berikutnya, tahun
132, mungkin ada artinya dalam hubungan ini, seandainya interpretasi yang agak
kurang pasti dari nama‑nama yang disebut mempunyai nilai. Disebut upacara
penerimaan oleh Kaisar Han untuk suatu perutusan yang membawa hadiah kehormatan
dari seorang raja Ye-tiao bernama Tiao‑pien. Apakah Ye‑tiao merupakan
terjemahan kedalam bahasa Cina dari istilah Sanskerta, Javadvipa, pulau Jawa,
dan apakah nama raja itu sama dengan Dewawarman dalam bahasa Sanskerta?
Informasi yang nampaknya
lebih pasti, datang dari akhli Ilmu Bumi asal Alexander bernama Claudius
Ptolomy, yang menulis pada tahun 165 atau mungkin lebih awal lagi, dan jelas
menggunakan sumber-sumber yang lebih tua lagi. Buku VII dari Geographianya,
secara detail berisi tentang Asia Tenggara, yang menggambarkan negeri Perak dan
negeri Mas dekat kota-kota di Semenanjung Mas, "Chryse Chersonesus".
Di antara pulau‑pulau Nusantara disebut "Barousai Lama", dihuni oleh
pemakan daging manusia, "Sabadeibai Tiga", juga dihuni oleh pemakan
daging manusia, dan pulau Yabadiou atau Sabadiou nama yang berarti negeri
Jelai, yang dikatakan sangat subur dan menghasilkan emas banyak dan ibukotanya
di ujung sebelah baratnya, sebuah kota dagang bernarna Argyre atau Kota Perak
(Hall, 1958 dalam Soewarsa,1988:1718).
Pendapat D. G. E. Hall, dipertegas lagl oleh
Sartono Kartoclirdjo, sebagaimana yang dikemukakan dalam buku Sejarah
Nasianal Indonesia II,
adalah sebagai berikut:
Dalam buku Geographike, kita bertemu kembali dengan
nama‑nama tempat yang berhubungan dengan logam mulia, yaitu emas dan perak.
Tempat‑tempat tersebut ialah Argyre Chora, yaitu negeri Perak, Chryse Chora,
negeri emas dan Chryse Chersonensos, semenanjung emas. Kitab ini menyebutkan
pula nama tempat Iabadiou, yaitu Pulau Enjelai (Kartodirdjo,1977: 6).
Menggunakan sumber yang sama, pendapat Yogaswara
yang dikutip oleh Halwany Michrob, mengemukakan antara lain sebagai berikut:
Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan
Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan ditemukannya peta yang dibuat
oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan
geograf Starbo (27-14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta
ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui:
India, Vietnam, ujung utara Sumatera, kemudian menyusuri pantai barat Sumatera,
Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok selatan sampai ke Cina
(Yogaswara, dalam Michrob 1993: 32).
Bermula dari sebuah berita Cina dari zaman keluarga
(dinasti) Han, memberitakan bahwa "raja Ye‑tiao bernama Tiao‑pien,
mengirirrilcan utusannya ke Cina dalam tahun 132 Masehi". Ye‑tiao diduga
sama dengan Yawadwipa atau Yabadiu, dan nama Tiao‑pien diduga sama dengan
Dewawarman. Menurut Ayatrohaedi, Tiao artinya Dewa, dan Pien artinya Warman.
Sasaran mengarah ke Jawa
bagian Barat, karena berita itu dihubungkan pula dengan tulisan seorang ahli
Ilmu Bumi Mesir bernama Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia yang
ditulis kira‑kira tahun 150 M. la. memberitakan, bahwa di dunia timur terdapat
Iabadiou yang subur dan banyak menghasilkan emas. Di ujung barat Iabadio
terletak (kota) Argyre. Iabadiou dapat dicapai setelah melalui 5 pulau Barousai
dan 3 pulau Sabadibai.
Bila kedua berita dari
Cina dan Ptolemeus ini digabungkan, dengan sendirinya diduga kuat, bahwa hal
tersebut menyangkut sebuah kerajaan di ujung barat Pulau Jawa.
Hasan Mu'arif Ambary,
pakar arkeologi Islam Universitas Indonesia, seperti yang dimuat dalam majalah Tempo (2000: 67), menyatakan bahwa pada abad
ketiga, Ptolemeus sudah melakukan transaksi perdagangan di Palembang, dan
menyebut kota itu dengan nama Barus, lantaran ia menukar minyak wangi dan
keramik Yunani dengan kapur barus, yang merupakan hasil utama kawasan itu.
Kartogtafer Eropa pada abad ke‑15‑17 mana pun yang
hendak mencari tahu sejarah Nusantata mulanya berangkat dari keterangan Claudius
Ptolemeus (90‑168 Masehi). Akhli matemarika dan astronom dari Alexandria ini
adalah orang pertama yang membuat catatan perjalanan ancar-ancar letak Asia.
Hasan Mu'arif Ambary,
pernah melakukan penggalian di Palembang, dan nyatanya, banyak keramik dari Yunani
yang bercorak sama dengan penemuan di India, Cina, dan Persia. Temuan tersebut
membuktikan bahwa sebelum zaman Gold, Glory and Gospel, sudah ada jalur bisnis
di Asia. Rute Ptolemeus adalah Venesia, Iskandaria, Teluk Aden (Yaman), India,
Barus, Cina, dan kembali ke Venesia. Temuan selanjutnya, berupa benda-benda
keramik dari masa Dinasti Han, terdapat di Jawa Barat (Krom, terjemahan
Effendi,1956:10). Tepatnya di pesisir pantai utara Banten (Lombard, 1996:15).
Berdasarkan temuan
tersebut di atas, dapat diduga, bahwa Claudius Ptolemeus yang menempatkan
Iabadiou dan Argyre dalam kartografnya, tentu dilakukan berdasarkan catatan
pemetaan yang cermat.
Bahkan, Sartono
Kartodirdjo, menduga Argyre yang dimaksud oleh Claudius Ptolemeus, dalam
bukunya Geographia Hyphegesis, yang berarti perak, adalah
"terjemahan" dari Merak, yang memang terletak di sebelah barat Pulau
Jawa (Kartodirdjo,1977: 36).
Ayatrohaedi dan Edi S.
Ekadjati dalam acara bedah naskah Sejarah Banten (18 Maret 2001 di Puri
Salakanagara Pandeglang), sebagai Dewan Pakar menyimpulkan, bahwa Salakanagara
memang pernah ada di pesisir barat Pandeglang dan merupakan kerajaan tertua di
Nusantara.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar