I.
SENTUHAN HINDUISME
Saleh Danasasmita berpendapat tentang
Hinduisme, dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam
Sejarah Jawa Barat jilid
1(1984), antara lain sebagai berikut:
Poerbatjaraka dalam desertasmya Agastya
in den Archipel (1921)
mengemukakan, bahwa lakon wayang yang mengisahkan kepergian Bambang Kumbayana
dari negeri Atas‑angin ke Nusa Jawa sebenarnya berkaitan dengan masa awal
sentuhan budaya Hindu di Nusantara. Menurut legenda yang dikenal di India
Selatan dan di Bali, penyebaran agama Hindu di daerah‑daerah seberang (di luar
India) dilakukan oleh Maharesi Agastya alias Resi Kumbayana. Tangan kiri sosok
wayang Kumbayana yang kaku itu adalah tiruan dari tangan kiri patung Agastya
yang selalu menating kendi tempat air suci. Begitu pula halnya bentuk janggut
wayang Kumbayana yang lancip, meniru bentuk janggut patung Agastya. Pada wayang
Kumbayana, kendi itu dihilangkan, untuk keleluasaan gerak (Dana sasmita,1984:
29).
Tentang adanya sentuhan Hinduisme di
Propinsi Banten, Claude Guillot membahas pernah ditemukannya arca‑arca di
kawasan Gunung Pulasari Pandeglang, melalui pemberitaan Brumund dan Van Hoevel,
antara lain sebagal berikut:
Sesungguhnya, pada paro pertama abad ke‑19, dua pakar yang terkenal,
Brumund dan Van Hoevell, menyebut arca‑arca lama yang menghiasi taman asisten
residen di Caringin. Arca itu, yang menggambarkan Brahma, Siwa, Agastya, Durga
dan Ganesha, beberapa tahun kemudian diangkut ke Museum Bataviaasch
Genootschap, yang waktu itu masih bertempat di anjung sositet Harmonie, dan
sekarang berada di Museum Nasional Jakarta. Beberapa puluh tahun kemudian,
asisten residen Caringin itu dalam suratnya kepada Bataviaasch Genootschap,
memberitahukan "bahwa beberapa arca pernah ditemukan di Cipanas di dekat
kawah yang sudah mati; semuanya dikirim ke Batavia, kecuali satu, yang karena
terlalu berat ditinggalkan di tepi Sungal Labuan dan sekarang masih ada di
sana. Lagi pula orang-orang Cina tidak mau mengangkutnya ke Batavia, karena
yakin bahwa barang siapa berani melakukannya pasti mendapat bencana di
laut". Beberapa bulan kemudian arca itu, ternyata sebuah yoni, diangkut ke
museum pula, sekalipun orang Cina berkeberatan, dan didaftarkan dengan nomor
361 (Guillot,1996:101).
Boleh jadi, apa yang dikemukakan oleh
Poerbatjaraka, ada keterkaitan dengan hasil temuan arca-arca di Gunung
Pulasari, sebagaimana yang dikemukakan oleh Brumund dan Van Hoevell. Pemujaan
terhadap Agastya, adalah merupakan sekte lainnya dalam agama Hindu. Bila dikaji
lebih dalam, kemungkinan besar kedua pemikiran tersebut, bisa dijadikan acuan
bagi penelitian Salakanagara.
Selanjutnya R Friederich pada tahun 1850
mengemukakan pendapatnya, tentang proses Hinduisasi sebuah `kerajaan' di
pesisir Selat Sunda, antara lain sebagai berikut:
Lebihjauh lagi bolehlah kami ajukan hipotesis, bahwa pada masa hutan rimba
pegunungan Sunda dihuni orang-orang biadab yang mirip kera (ingatlah dongeng
Raja Lutung Kasarung yang diringkaskan oleh Raffles), maka sejumlah pendatang
Hindu menetap di pantai‑pantai Sunda yang elok, dan mendirikan sebuah kerajaan
yang makmur berkat perdagangan di Selat Sunda (Friederich, 1850, dalam Guillot,
1996; 104).
Sayangnya, Friederich terlalu memaksakan
temuan Manusia Purba dengan mitos Sunda cerita Lutung Kasarung. Kedua-duanya,
ada di wilayah disiplin ilmu yang berbeda.
Halwany Michrob, telah mengidentifikasi
wilayah pesisir barat Tatar Sunda. Dalam buku Catatan Masalalu Banten (1993), mengemukakan pendapatnya,
antara lain sebagai berikut:
Pulau Panaltan merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda
yang bersama Pulau Peucang, luasnya sekitar 17.500 Ha termasuk kawasan
pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian geologi di Pulau
Panaitan, menunjukkan bahwa pulau ini telah ada sejak ± 26 juta tahun lain,
apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua. Pada berbagai singkapan,
tampak bahwa pulau ini tersusun dari jeris‑jenis batuan andezite, tuffa,
gamping dan yang termuda batuan aluvial (Michrob,1993: 33).
Pada materi yang sama, Anwas Adiwilaga
mengemukakan pendapatnya, kemudian dibahas oleh Yogaswara, antara lain sebagai
berikut:
Di Pulau Panaitan pada kira‑kira tahun 130
M pernah berdiri satu kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di Jawa Barat Kerajaan
ini bernama Salakanagara (Negeri Perak) dengan pusatnya di kota Rajatapura,
yang terletak di pesisir barat Pandeglang. Raja pertamanya bernarna Dewawarman
I (130 ‑168 M). Daerah kekuasannya mehputi: Kerajaan Agrabinta (di Pulau
Panaitan), Kerajaan Agnynusa (di Pulau Krakatau), dan daerah ujung selatan
Surnatera. Dengan demikian, seluruh Selat Sunda dapat dikuasai Dewawarman I
ini, sehingga ia digelan Aji Raksa Gapurasagara (Raja Penguasa Gerbang Lautan)
(Yogaswara, dalam Michrob,1993: 33),
Selanjutnya, Anwas Adiwilaga menduga
Rajatapura berada di Pulau Panaitan (Pandeglang) (Yogaswara, 1978: 38), dengan
ditemukannya patung Ganesha dan patung Siwa dengan tanda ardachandra (bulan
sabit) di dahinya, di Pulau Panaitan. Padahal keberadaan patung‑patung itu
tidak menolong keadaan, karena ada yang menduga bahwa patung‑patung itu berasal
dari abad ke‑7 Masehi (Danasasrnita, 1984: 3334). Bahkan dalam hasil penelitian
lainnya, dua arca tersebut diperkirakan berasal dari abad ke‑14 atau ke‑15
Masehi (Vorderman,1894 dalam Guillot,1996: 106).
II.
MENELUSURI PULASARI
Sering disebut‑sebutnya Gunung Pulasari
(Pandeglang) dalam berbagai wacana penelitian sejarah, baik dalam naskah babad
maupun hasil kajian para akhli, mengisyaratkan, bahwa peran Gunung Pulasari memiliki
arti penting dalam sejarah.
Mengacu
kepada Pupuh XVII dalam Babad Banten, seperti yang dibahas oleh Hoesein
Djajadiningrat (1913), memberitakan Gunung Pulasari sebagai berikut:
Molana Hasanuddin berkelana di hutan‑hutan dan di atas Gunung Pulosari, dan
ia pun tibalah di sebuah pertapaan yang ditinggalkan. Ketika bapaknya datang
kepadanya, dikatakannya kepadanya, bahwa pertapaan itu adalah pertapaan
Brahmana Kadali ‑ atau Kandali (Djajadiningrat,1983: 33).
Temuan arkeologis di sekitar Gunung
Pulasari, dikemukakan dalam buku Banten Sebelum Zaman Islam; Kajaan
Arkeologi di Banten Girang 932? 1526,
(1996), oleh Claude Guillot dan kawan‑kawan.
Dalam pada itu, Tantu Panggelaran
mengandung keterangan yang nrenarik, yaitu bahwa "di ujung barat Pulau
Jawa" (nusa Jawa tungtungan kulwan) terdapat Gunung Mahameru yang bagian
atasnya diangkut ke timur, sedangkan bagian bawahnya bernama Gunung Kailasa ─ yaitu tempat kedudukan Siwa ─ tetap berada di tempatnya. Bahwa dalam naskah itu disebutkan ternpat di
luar daerah kebudayaan Jawa mengherankan Pigeaud (penyunting naskah tersendiri)
yang dalam ulasannya mengemukakan hipotesis ─ meskipun kurang yakin sendiri ─
bahwa "Nusa Jawa" itu barangkali terbatas pada daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur saja. Dan Pigeaud hanya dapat menyatakan bahwa "gunung apa yang
dinamakan Kailasa itu masih harus dicari". Pada hemat kami, Tantu
Panggelaran sangat sesuai dengan infornrasi dalam SB tentang adanya golongan
besar pendeta di atas Gunung Pulasari, oleh karena gunung tersebut memang
terletak "di ujung barat Pulau Jawa". Artinya Gunung Kailasa dapat
disamakan dengan Gunung Pulasari. Kekeramatan itu tidak mungkin termasyhur
sampal ke Jawa Timur kalau di atas gunung itu tidak terdapat tempat pemujaan
lama (Guillot,19y6;100).
Berdasarkan cerita rakyat Desa Cilentung,
di sekitar puncak Gunung Pulasari, terdapat batu‑batu yang dikeramatkan. Untuk
membuktikan kebenarannya, Tim berangkat dari Desa Cilentung Kecamatan Saketi,
pada tanggal 8 Oktober 2000 pagi, dipandu oleh 4 orang penduduk Desa Cilentung,
Tim mengadakan pendakian menu ju ke puncak Gunung Pulasari. Sepanjang
perjalanan secara berturut-turut, ditemukan batu‑batuan yang dikeramatkan itu,
antara lain:
Batu Sanghiyang Arca. Mengamati bentuk batu Sanghiyang Arca, ada kemiripan dengan lempeng batu
prasasti Kawali II (Ciamis) atau Batu Tulis kota Bogor. Menurut cerita rakyat
Cilentung, dahulu di lokasi Sanghiyang Arca, Maulana Hasanuddin menyabung ayam
dengan Pucuk Umun Pulasari.
Air Terjun Curug Putri. Menurut cerita rakyat, air terjun Curug Putri, dahulunya merupakan tempat
pemandian Nyai Putri Rinak Manik dan Ki Roncang Omas. Di lokasi tersebut,
terdapat aneka macam batuan dalam bentuk persegi, yang berserak di bawah
cucuran air terjun.
Batu Sanghiyang Kotok. Pada salah satu permukaan batu Sanghiyang Kotok, menurut cerita rakyat,
ada semacam "gambar" ayam jantan. Ayam jantan tersebut, konon milik
Maulana Hasanuddin.
Batu Kiara Sarebu.
Batu Kiara Sarebu berbentuk empat persegi panjang, pipih, dengan luas permukaan
80 x 50 centimeter, tebal 10 centimeter. Di lokasi Batu Kiara Sarebu, dahulu
kala banyak terdapat pohon kiara. Menurut cerita rakyat, diperkirakan merupakan
tempat bertapa raja‑raja. Patut disayangkan, dikarenakan lokasi tersebut sudah
dirusak oleh perambah hutan, kini pohon kiara yang tertinggal hanya sebuah.
Batu Kiara Jingkar. Batu Kiara Jingkar, sesungguhnya hanya merupakan sebuah batu biasa.
Kekeramatan batu tersebut, ditandai oleh adanya 3 buah pohon hanjuang merah
(siang), yang dibentuk serupa "makam".
Batu Cangkrung. Batu
Cangkrung, merupakan sebuah batu dengan salah satu permukaannya yang cekung,
sehingga dapat menampung air (nyangkrung). Uniknya, menurut cerita rakyat, air
di atas permukaan yang cekung tersebut, tidak pernah kering. Sehingga digunakan
untuk minum berbagai jenis burung.
Ketika tiba di sekitar puncak Gunung
Pulasari, pada ketinggian antara 1.300 meter hingga 1.346 meter di atas
permukaan laut, terdapat dua tempat yang dikeramatkan, yaltu puncak Rincik
Manik dan puncak Roncang
Omas.
Di lokasi puncak Rincik Manik, terdapat dua
"makam" dengan karakter yang berbeda. Makam yang pertama, membujur
arah timur‑barat, dan di lokasi tersebut terdapat semacam batu lumpang serta
sejenis kapak genggam. Makam yang satunya lagi, membujur arah utara‑selatan,
dan di lokasi tersebut terdapat sejenis menhir.
Di lokasi puncak Rincik Manik, juga
terdapat sebuah batu yang sangat unik, sehingga 'Tim menamainya "batu
magnit". Uniknya, ketika diukur menggunaltan kompas, walaupun ditempatkan
di sekeliling batu ke berbagai arah mata angin, jarum magnetis Utara (U) kompas
selalu mengarah ke batu tersebut. Hal itu, mengingatkan akan peristiwa jatuhnya
pesawat terbang di lereng timur laut Gunung Pulasari, tidak jauh dari lokasi
Baru Kiara Swebu. Mungkin saja arah kompas kapal terbang yang nahas, dikacaukan
oleh "batu magnit" puncak Rincik Manik.
Di lokasi puncak Roncang
Omas, terdapat sebuah tempat yang dianggap "makam",
dengan ditandai tumpukan batu yang sudah demikian terlantar. Di lokasi itu,
banyak sampah‑sampah berserakan, yang ditinggallkan wisatawan lokal. Bahkan
batu‑batuan yang ditemukan, nampak gosong, akibat seringkali digunakan sebagai
tungku untuk memasak atau api unggun.
Kekeramatan itu tidak mungkin termasyhur
sampai ke Jawa Timur, kalau di atas gunung itu tidak terdapat tempat pernujaan
lama (Guillot, 1996).
Mungkin,
puncak Rincik Manik dan puncak Roncang Omas itulah yang dimaksud oleh Guillot.
Di bagian lain, Guillot mengemukakan pendapatnya tentang Situs Sanghiyang
Dengdek, yang juga berlokasi di lereng Gunung Pulasari.
Selain tempat‑tempat keramat biasa, sata‑satunya
tempat pemujaan lama yang masih ada terdapat di Desa Sanghyang Dengdek, yang
menyandang nama "dewa" yang dipuja di situ. Ternpat pemujaan tersebut
sudah lama dikenal, dengan tipe "primitif" yang umum di Jawa Barat;
di atas sebuah onggokan tanah yang dikelilingi batu sungai yang besar‑besar,
berdiri tegak sebuah batu yang tingginya kira‑kira satu meter dan puncaknya
dipahat secara kasar berbentuk kepala; kelihatan pula, tetapi hampir tidak
menonjol, lengan‑lengan dan kelamin lelaki. Nama tokoh itu "si bungkuk
yang terpuja" berasal dari bentuk batu yang secara alam agak membungkuk.
Betapapun menariknya tempat pemujaan
tersebut, rupanya tidak setara dengan kekeramatan Gunung Pulasari menurut SB,
Tantu Panggelaran dan Serat Centhini, apalagi kalau diingat bahwa pengarang
kedua karya terakhir ini sudah tentu mengetahui bangunan agama yang jauh lebih
canggih. Lagi pula sulit dibayangkan bahwa negeri terbuka ke dunia luar seperti
Banten Girang, dapat puas dengan gaya primitif dan "kampungan" dari
arca‑menhir itu (Guillot,1996:100).
Pendapat Guillot terkesan merendahkan nilai
kepurbakalaan menhir Sanghiyang Dengdek, dengan sebutan "si bungkuk yang
terpuja", "primitif" dan "kampungan". Mungkin Guillot
kecewa, karena kepurbakalaan Sanghiyang Dengdek, tidak marnpu mendukung
kebesaran temuan Banten Girang.
Haris Sukendar, dalam makalah Peranan
Menhir Dalam Masyarakat Prasejarah di Indonesia, menerangkan makna
dan fungsi menhir, antara lain sebagai berikut:
Menhir berasal dari bahasa Breton yang terdiri dari kata "men"
=batu dan "hir" = berdiri, yang secara keseluruhan berarti batu tegak
(berdiri) (Soejono, 1981/1982: 247). Menhir merupakan peninggalan tradisi
megalitik yang sangat banyak ditemukan di berbagai situs, dan berbagai masa
setelah periode neolitik (bercocok tanam) (Van der Hoop 1938). Bahkan sampai
masa‑masa pengaruh Hindu maupun pengaruh Islam di Indonesia menhir sebagai
salah satu obyek tradisi megalitik masih memegang peranan penting bahkan
berkembang sampai sekarang. Dengan adanya peranan menhir yang meliputi kurun
waktu cukup panjang tersebut maka tidak mengherankan jika terjadi perkembangan‑perkembangan
pada bentuk‑bentuk dan fungsi menhir itu sendiri. Situs‑situs megalitik telah
menghasilkan menhir‑menhir yang mempunyai bentuk berbeda-beda. Di daerah
Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan lain‑lain ditemukan menhir dalam bentuk
sederhana dari batuan kasar, dan belum dikerjakan (Sukendar,1985: 92).
Dalam Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
I sarga 1, mengenai pitarapuja (penghormatan terhadap arwah leluhur),
dikemukakan antara lain sebagai berikut:
.../hana jnua pamuja
nikang jan m apada ring samang-
kana/ akweh pamu-
ajanya// mapan sarwa pa-
muja sakaharepni-
ra/ lawan angucap mantra
yatiku makadi pi-
trepuja// marika ma-
malaku ning sang pita-
ra makapu (ru) haranya ma-
kadi sang pitrepuja
ning kawitan la-
wan waneh sthapan mantra/
sangkep lawan widhiwidha-
na mwang asthapana se-
wana lawan sarwa bho-
ga// nityabhiprayanira
yatanyan sidha citta-
nya//...
Terjemahannya:
Adapun
yang jadi pujaan warga masyarakat pada waktu itu, banyak sekali. Karena yang
menjadi pujaannya sekehendak mereka, dengan mengucapkan mantra, yaitu terutama
pemujaan terhadap nenek‑moyang. Mereka memohon kepada nenek‑moyang, yang
menjadi tujuan terakhir, terutama pujaan terhadap nenek‑moyang dari ayah dan
juga mantera sihir, lengkap dengan upacara yang diperlukan serta asthapana
sewana (nama sejenis mantra) dan berbagai makanan. Selalu maksudnya agar cita‑cita
mereka tercapai.
Saleh Danasasmita pernah mengungkapkan,
bagaimana sesungguhnya fungsi dan makna dari menhir atau batuan lainnya, yang
sudah ada jauh sebelum Hindu masuk ke Tatar Sunda.
Para "pemuja leluhur" ini telah
memiliki tatanan kehidupan yang teratur yang kemudian tumbuh secara dinamik,
ketika mendapat sentuhan pengaruh Hindu. Orang Jawa Barat berkenalan dengan
panteon baru yang dihuni para dewa, namun seperti diungkapkan oleh Wangsakerta
dan Pleyte, rakyat banyak tetap setia memuja roh leluhurnya. Sampai sekarang
hal ini masih tampak cukup jelas (Danasasmita,1984: 42).
Selanjutnya Saleh Danasasmita memberikan gambaran, tentang kemungkinan
terjadinya transisi keagamaan, antara lain sebagai berikut:
Dalam abad ke‑13 atau sedikitnya abad ke‑14 raja‑raja di Jawa Barat sudah
mulai mempertaruhkan nasib negaranya di kabuyutan atau di sasaka domas.
Tempat-tempat seperti itu pada umumnya berasal dari peninggalan para leluhur
yang dimanfaatkan terus atau dimanfaatkan kembali. Dengan kabuyutan sebagai "pusat
dangiang", mereka makin menggeser jauh dari garis Hinduisme. Lingga dan
yoni gaya Hindu ditinggalkan; mereka kembali kepada penggunaan disolit yang
berupa pasangan tonggak batu dengan lempeng batu. Kalau tempat‑tempat seperti
itu dilengkapi patung‑patung, bukanlah patung dewa‑dewa Hindu yang
ditempatkannya melainkan patung‑patung nenek‑moyang. Tempat-tempat seperti itu
pada umumnya ditandai oleh adanya petak bersegi empat mirip "kuburan"
(Danasasmita,1984: 42).
Mengacu kepada pendapat Saleh Danasasmita,
di seputar Gunung Pulasari Pandeglang, terdapat peninggalan kepurbakalaan
dimaksud, antara lain berupa menhir:
1.
Sanghiyang Dengdek. Lokasi di Kampung Kaduhejo, Desa
Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi.
2.
Sanghyang Healeut. Lokasi di Desa Banjarnegara, Kecamatan Saketi.
3.
Batu Pahoman. Lokasi di Kampung Pahoman, Desa Pasirpeuteuy,
Kecamatan Cadasari.
4.
Batu Goong. Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
5.
Batu Lingga. Lokasi di Desa Batulingga, Kecamatan Banjar.
6.
Batu Cihanjuran. Jumlah 3 buah menhir, lokasi di mata air
Cihanjuran, Desa Cikoneng, Kecamatan Mandalawangi.
7.
Makam Gunung Cupu. Lokasi di Desa Gunungcupu, Kecamatan Cimanuk.
8.
Batu Rincik Manik. Posisi di puncak Gunung Pulasari, pada
ketinggian + 1300 meter di atas permukaan laut.
9.
Sanghiyang Arca. Lokasi di ketinggian Kampung Cilentung, Kecamatan
Saketi.
Berdasarkan kajian geografi sejarah, pada
masa 2000 tahun yang silam, keadaan pantai barat Pandeglang, tentunya berbeda
dengan keadaan yang sekarang. Dihitung secara geologis, sangat memungkinkan
terjadi pendangkalan akibat terjadinya beberapa kali letusan gunung Krakatau,
Gunung Pulasari, Gunung Karang, juga Gunung Aseupan. Terhanyutnya pasir, debu,
kerikil dari letusan gunung, oleh arus deras sungai Cibama, Cilabuan,
Cicaringin dan Cibangangah, membentuk pendangkalan selebar antara 8‑10
kilometer di sepanjang pantai barat Gunung Pulasari.
Keadaan tanah situs Sanghiyang Dengdek,
berada pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut, berjarak 14 kilometer
dari garis pantai. Keadaan Sanghiyang Dengdek pada saat 2000 tahun yang lalu,
sebelum terjadi pengendapan di sepanjang pantai Teluk Lada, jaraknya hanya 3
kilometer dari tepi pantai. Berpedoman kepada naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantaraparwa I sarga 1, yang menyatakan
"pernah adanya masyarakat pesisir pantai barat", dapat diduga bahwa
Dukuh Pulasari (tempat Panghulu Aki Tirem dan masyarakatnya bermukim),
berlokasi di arcal pemukiman Sanghiyang Dengdek.
III.
JEJAK AGAMA SUNDA
Di sekitar Gunung Pulasari, Gunung Aseupan dan Gunung Karang di Kabupaten
Pandeglang, ditemukan pula batu‑batuan berbentuk dolmen, di antaranya:
1.
Batu Ranjang. Lokasi di Kampung Baturanjang, Desa Palanyar,
Kecamatan Cimanuk.
2.
Batu Pangasaman. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
3.
Batu Pangsalatan. Lokasi di tepi jalan raya di wilayah Kecamatan
Mandalawangi.
Sedangkan
batu‑batu yang ditemukan dalam bentuk lain, diduga memiliki nilai
kepurbakalaan, antara lain:
1.
Batu Sanghiyang Kotok. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
2.
Batu Cangkrung. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
3.
Batu Keris dan Bata Teko. Lokasi di tengah hamparan pesawahan Desa
Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
4.
Batu Kuda I. Lokasi di tepi jalan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
5.
Batu Kuda II. Lokasi di Pasir Pariuk Nangkub, Kampung Sampalan,
Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
6.
Batu Qur'an. Lokasi di Kampung Cibulakan, Kecamatan Cimanuk.
7.
Batu Notod. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
8.
Batu Saketeng. Lokasi di Desa Saketi, Kecamatan Saketi.
9.
Batu Tumbung. Lokasi di Kampung Cidaresi, Desa Palanyar, Kecamatan
Cimanuk.
10.
Batu Kasur. Lokasi di Kampung Nembol, Kecamatan Mandalawangi.
11.
Batu Tongtrong. Lokasi di Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
12.
Batu Kolam Citaman. Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
Di kawasan Popinsi Banten, masih terdapat
gejala religi "agama masa silam", dan masih dianut oleh kelompok
masyarakat yang menamakan diri "Sunda Wiwitan" (Sunda Awal). Hal ini
diperkuat oleh laporan RA.A.A. Djajadiningrat, Bupati Serang tahun 1908, dalam
laporan resminya (1908 no. 1786; van Tricht,1929: 47), yang dikutip Judistira
Garna dalarn bukunya Orang Baduy, antara lain sebagai berikut:
Menurut adat dan kepercayaan, orang‑orang Baduy merupakan kelompok yang
mewakili suatu zaman peradaban Pasundan yang telah silam. Meskipun kita telah
jauh dari pengetahuan yang pasti tentang satu dan lainnya mengenai pandangan
mereka namun melihat keterasingannya yang ketat yang mereka lakukan, sejauh ini
dapat disimpulkan bahwa mereka itu bukan penganut ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan
pula penganut suatu sekte Hindu ataupun Buddha.
Walaupun kurang terdapat keterangan
terinci, namun berdasarkan berbagai pengamatan dan laporan resmi Djajadiningrat
serta pengamatan Pennings (1902), van Tricht mengemukakan tentang agama Sunda
sebagai kepercayaan orang Baduy. Agama itu merupakan agama tua yang dipeluk
oleh penghuni Wilayah Jawa Barat (sekarang) yang permulaan penyebaran agama
Islam sedikit sekali dipengaruhi oleh agama Hindu (1929:47) (Garna,1987: 61)
Mengenai jejak religi masa silam seperti
itu, Saleh Danasasmita pernah memberikan penjelasan, antara lain sebagai
berikut:
Sesuai dengan kehidupan leluhurnya yang masih biasa berpindah‑pindah tiap
habis musim panen, watak agama yang diwarisinya lebih sederhana dalam arti:
praktis, akrab, dengan alam dan lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Praktis
sehingga dapat dilaksanakan di manapun mereka berada.
Akrab
dengan alam sehingga lebih mengutamakan keheningan mutlak daripada kehiruk-pikukan
masa. Lebih mementingkan isi sehingga ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak
didasarkan kepada nilai-nilai materil benda‑benda upacaranya melainkan dalam
hati dan tingkah laku.
Jelas upacara‑upacara dalam agama Hindu
yang penuh formalitas dengan urutan yang ketat serta mantera mantera yang tak
boleh salah ucap atau salah susun, tidak serasi dengan karakter agama yang
diwarisi dari para leluhurnya. Bagi mereka, sebongkah batu alam yang agak aneh
sudah cukup untuk dijadikan titik pusat upacara pemujaan. Setelah selesai batu
itu ditinggalkannya karena di tempat lain pun mudah memperoleh batu sejenis.
Namun, sejenak kesungguhan hati yang dibungkus keheningan alam sekitar
merupakan modal mereka yang utama dalam menjalin hubungan dengan Yang Gaib (Danasamita,1984:
43).
Situs religi masa silam terbesar di wilayah
Propinsi Banten, berupa peninggalan dari masa pra‑Hindu, dengan ditemukannya
beberapa punden berundak di wilayah Kabupaten Lebak. Keterangan peninggalan
tersebut, diungkapkan oleh Halwany Michrob dalam buku Lebak
Sibedug dan Arca Doms di Banten Selatan(1993), antara lain sebagai
berikut:
Undakan batu di Kosala terdiri 5 tingkat yang pada setiap tingkatnya
terdapat menhir. Kadang-kadang dijumpai sebuah papan batu (lab stone) berbentuk
segi lima, dan pada bagian bawah yang terpendam dalam tanah terdapat beberapa
buah batu bulat (batu pelor) yang bergaris tengah antara 10‑15 cm. Sebuah arca
kecil ditemukan di dekat struktur berundak tersebut kedua tangannya terlipat ke
depan, salah satu di antaranya seperti dalam sikap mangacungkan ibujari.
Arca Domas adalah bangunan berundak dengan
13 tingkatan dan pada tingkat paling atas terdapat sebuah menhir berukuran
besar, yang pemercaya dianggap melambangkan Batara Tunggal, Sang Pencipta Roh,
dan kepadanya pula roh‑roh akan kembali.
Monumen Lebak Sibedug juga merupakan
bangunan berundak empat tingkat setinggi ± 6 meter. Di depan undak batu ini
terdapat dataran yang di tengahnya terdapat sebuah menhir. Menhir pusat ini
ditunjang oleh batu‑batuan berukuran kecil (Michrob,1993: 5‑6).
Dalam naskah kuno Kropak 630 Sanghiyang
Siksakandang Karesian, 'terdapat jejak "agama asli" yang
jauh lebih mendasar, jika dibandingkan dengan kedua gejala Hinduisme dan
Budhisme. Hal tersebut pernah dikaji oleh Saleh Danasasmita, mengemukakan
pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dalam dasaperbakti di antaranya disebutkan, "ratu bakti di dewata,
dewata bakti di hiyang" (raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada
hiyang). Jadi hiyang‑lah yang paling tinggi. Kemudian dinyatakan bahwa dewa‑dewa
seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Siwa dan lain‑lainnya tunduk kepada Batara Seda
Niskala. Dialah Batara Jagat (penguasa alam) "nu ngretakeun bumi
niskala" (Yang mengatur dunia gaib). Seda Niskala adalah nama Hiyang yamg
disangsakertakan (seda = sempurna; niskala = gaib). Nama itu dapat diartikan
"Yang Maha Gaib" (Danasasmita, 1984:41).j
Ikhwal peninggalan Hinduisme yang terdapat
di Pulau Panaitan, maupun temuan di Gunung Pulasari (yang kini telah
dipindahkan ke museum), kemungkinan besar pernah tersingkir, akibat terdesak
oleh kebangkitan kembali agama pribumi (agama Sunda). Kemungkinan-kemungkinan
itulah, yang tidak sempat dikaji dan dipahami Claude Guillot, sehingga
Sanghiyang Dengdek disebutnya "si bungkuk yang terpuja", dan dinilai
bergaya "primitif” dan "kampungan". Guillot tidak memahami agama
leluhur Sunda, sehingga ia lebih tertarik oleh "bentuk" arca
Hinduisme, dari pada "isi" (makna dan fungsi) pitarapuja Sanghiyang
Dengdek.
Tidak menutup kemungkinan, peninggalan
kepurbakalaan Hinduisme dan Budhisme di Cibuaya dan Batujaya (Karawang),
terkuburannya menjadi bukit‑bukit (hunyur), kemungkinan ada unsur kesengajaan.
Carita Parahiyangan menunjukkan adanya para
wiku "nu ngawakan Jati Sunda" yaitu para pendeta yang khusus
mengamalkan "agama Sunda" dan memelihara "kabuyutan
parahiyangan". Sisa dari kabuyutan Jati Sunda atau parahiyangan sepeti itu
adalah Mandala Kanekes yang dihuni "orang Baduy" sekarang. Leluhur
mereka dalam jaman kerajaan mengemban tugas memelihara mandala atau kabuyutan
“Jati Sunda" yang dewasa ini disebut sasaka domas. Orang Tangtu
("Baduy‑dalam") adalah keturunan "para wiku", orang
panamping ("Baduy‑luar) merupakan keturunan "kaum sangga".
Mereka bertugas melakukan "tapa di mandala" dan sudah menjalankan
tugas tersebut secara turun temurun sejak masa jauh sebelum Kerajaan Pajajaran
berdiri (Danasasmita,1984: 41).
Sendi‑sendi religi masa silam pra Hindu di
seputar lereng dan suku Gunung Pulasari, mengingatkan adanya benang merah
religius, antara tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dengan "Pitarapuja
Hiyang"‑nya; bangkit kembali pada masa kerajaan; Sunda, Galuh, Pajajaran
dengan "Hiyang Seda Niskala"‑nya, terlestarikan dalam refleksi
masyarakat Sunda Wiwitan (Baduy) masa kini dengan Agama Sundanya.
IV.
MELACAK RAJATAPURA
Ayatrohaedi, dalam makalah Naskah
dan Sajarah (1989),
mengemukakan tentang permulaan lahirnya ilmu arkeologi, antara lain sebagai
berikut:
Sebagai seorang anak Eropah, sudah sejak kecil Heinrich Schhemann
berkenalan dengan mitologi Yunani yang dianggap sebagai salah satu akar
kebudayaan Eropah masa berikutnya. Selain di sekolah, mitologi Yunani itu
dikenalnya juga melalui kedua orang tuanya, para tetangganya, dan buku‑buku
yang dibacanya. la sangat tertarik oleh kisah Perang Troya yang menggambarkan
bagaimana sebuah kota yang kokoh akhirnya dapat direbut berkat kecerdikan musuh
yang mengepungnya. Ketertarikannya itu ternyata berkepanjangan menjadi
tandatanya besar baginya. Mungkinkah kisah yang demikian nyata itu, benar‑benar
hanya sekadar dongeng tanpa satu pun acuan peristiwa yang tetjadi? Jika orang
lain beranggapan kisah itu sekadar mitos, tidak demikian halnya dengan
Heinrich. Ia menduga bahwa kisah itu lahir karena ada suatu peristiwa penting
yang pernah terjadi di kota atau sekitar kota Troya itu.
Kebetulan orangtuanya pedagang kaya, dan
juga memahami rasa penasaran anaknya itu. Dengan dukungan dana dari
orangtuanya, di samping ia sendiri kemudian menjadi saudagar yang juga kaya, ia
memutuskan untuk pergi ke Yunani. Bukan untuk membuktikan kepada dunia bahwa di
sana ada sebuah kota dan peradaban yang bernama Troya, melainkan lebih
disebabkan oleh keinginan memenuhi rasa penasarannya itu. Bersama dengan istri
dan sejumlah pembantu lapangan, mereka berangkat ke Yunani, lalu menuju tempat
yang menurut berbagai acuan diduga sebagai tempat berdirinya kota Troya.
Berhari‑hari mereka menggali di situ, tak
juga menemukan apa yang dicari. Ketika seluruh rombongan (kecuali Heinrich)
sudah benar-benar berputus asa, cangkul yang dihujamkan ke tanah mengenai
sesuatu yang keras. Keputus-asaan untuk sementara ditangguhkan, dan penggalian
diteruskan. Hasilnya, bukti pertama bekas kota dan peradaban itu tergali, dan
dari penggalian itu lahirlah ilmu yang kemudian dikenal sebagai widyapurba atau arkeologi (Ayatrohaedi,1989: 1-2).
Untuk memberikan ilustrasi yang lebih
jelas, Ayatrohaedi mengemukakan peristiwa lainnya, mengenai keterkaitan antara
naskah dengan pembuktian sejarah, antara lain sebagai berikut:
Dalam pada itu, nenek‑moyang orang India meninggalkan dua buah wiracarita
yang terkenal, Mahabharata karya Wyasa dan Ramayana karya Walmiki. Menurut para
ahli bahasa, kedua naskah itu berasal dari kurun masa antara 400 sM -400 M.
Seperti juga halnya dengan kisah Troya, para pembaca naskah itu umumnya
menganggap bahwa semuanya hanyalah sekadar dongeng, kalaupun bukan mitos.
Tetapi, seperti halnya dengan Heinrich, ada raja orang yang tidak percaya akan
keasaldongengan kedua wiracarita itu. Inggris yang ketika itu menjadi yang
dipertuan di India, juga mempunyai beberapa orang warga yang menganggap bahwa
kisah Troya kaol (=versi) India seharusnya tersembunyi di balik kisah tersebut.
Berbekal anggapan itu, mereka mencoba
menggali dan menemukan kota yang seharusnya menjadi pusat kerajaan
Indraprahasta (kita mengenalnya dengan nama Amarta), di daerah sebelah barat
daya, beberapa kilometer dari kota Nutana Dehali (New Delhi). Hasilnya? Bekas
kota tua yang diduga berasal dari pertengahan abad ke‑12 sebelum Masehi (1150
sM) muncul kepermukaan. Dalam pada itu, dendam kesumat antara Rama dengan
Rahwana, ternyata masih berlanjut hingga sekarang berupa sengketa antara orang
Singhala di Srilangka (Alengka) dan orang Tamil yang tidak mustahil keturunan
Subali dan Sugriwa. (Ayatrohaedi,1989: 2‑3).
Dari dua ilustrasi yang dicontohkan oleh
Ayatrohaedi, mendapatkan gambaran yang jelas, bahwa naskah dongeng sekalipun,
dapat dimanfaatkan sebagai pemandu pembuktian sejarah. Karena masa penulisannya
yang tidak muasir itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian ,jika seseorang
bermaksud menggunakan naskah sebagal sumber sejarah, termasuk naskah‑naskah
yang sebenarnya menyebut dirinya sajarah, hikayat, asal‑usul, silsilah, carita,
tambo, atau babad. Betapapun, nama-nama yang disandangnya itu mengisyaratkan
bahwa sampai taraf tertentu, naskah‑naskah itu dapat dimanfaatkan sebagai
sumber sejarah (Ayatrohaedi,1989: 6).
Kembali ke masalah Salakanagara, Dewawarman
dan Rajatapura, yang telah lama menjadi perdebatan para akhli. Di Gunung
Pulasari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Claude Guillot, sesungguhnya
merupakan pemandu ke arah pembuktian Salakanagara. Guillot mengemukakan
pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dari berbagai sisi, arca‑arca itu penting untuk pokok pembicaraan ini.
Pertama, meskipun muka arca‑arca itu sudah dirusakkan (pada masa Hasanuddin?),
gayanya sangat berbeda dari gaya arca Sunda, dan persis serupa dengan gaya
akhir periode Jawa Tengah, artinya dapat ditentukan berasal dari paro pertama
abad ke‑10. Kedua, dapat dilihat bahwa arca-arca itu merupakan kelompok arca
dewa yang terdapat dalam setiap arca dewa yang terdapat dalam setiap candi
Siwa, yaitu Dewa Siwa, Agastya (titisan Siwa yang amat sering terdapat di
Jawa), Durga (yaitu Parvati, sakti Siwa) dan Ganesha (putra Siwa), serta lingga
yang sudah hilang, namun semula sudah barang tentu bersatu dengan yoni. Wahana
(vahana) Siwa, yaitu sapi Nandi, mungkin sekali juga sudah hilang. Kehadiran
arca Brahma barangkali menunjukkan bahwa, seperti di Prambanan, candi utama
Siwa diapit oleh candi Brahma dan candi Wisnu, sedangkan arca Wisnu itu tidak
ditemukan kembali. Ketiga, seperti dijelaskan dalam surat asisten residen
tersebut, arca‑arca itu terdapat di Cipanas yaitu di Gunung Pulasari, dekat
kawah yang oleh C.W.M. van de Velde digambarkan dalam sebuah etsa yang
termasyhur pada pertengahan abad ke‑19, pasti tidak lama sesudah pengangkatan
arca-arca tersebut (Guillot,1996:102).
Guillot sudah menduga, bahwa arca‑arca
hasil temuan dari Cipanas Gunung Pulasari itu, berasal dari peninggalan Hinduisme.
Hanya saja, jika Guillot mau melirik hasil kajian para akhli tentang
Salakanagara, temuannya sangat membantu dalam perkembangan selanjutnya.
Sementara
itu, dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara,
parwa I sarga 1, halaman 158-160, terdapat suatu riwayat tentang pernah
dibuatnya candi beserta arca‑arcanya oleh Dewawarman VIII (240‑362 Masehi),
antara lain sebagai berikut:
...//
diwasa sang de-
wawarman
astama nyakra-
warti
i bhumi Jawa ku-
lwan
ring samangkana pra-
nah
ing janapada rikung
kreta
subhika//...
...//
sang raja gawe
ta
sira candi lawa-
n
pratistha ing siwa ma-
hadewamardhacandra-
kapala
// lawann ganaya-
nadewa
/juga hya wi-
snudewa
/ anggwa sira
sakweh
ing wa(i)snawa//ma-
pan
siwa kabeh jana-
pada
padaherup hu-
rip
tulushayu/...
Terjemahannya:
Pada
masa Dewawarman kedelapan memerintah di bumi Jawa Kulwan, pada waktu itu
kehidupan warga masyarakat ada dalam keadaan makmur sejahtera. Sanghyang Agatna
senantiasa dihormati, dipelihara dan sangatlah baik karenanya. Di antara warga
masyarakat yang memuja Hyang Wisnu tidak seberapa banyaknya. Ada yang memuja
Hyang Siwa. Ada yang memuja Hyang Ganayana. Ada yang memuja Siwa-Wisnu.
Maka
demikianlah pemuja Hyang Ganayana [atau] disebut juga pemuja Ganapati. Golongan
ini banyak pengikutnya. Adapun mata pencaharian warga masyarakat, di antaranya
berburu di hutan pegunungan, berdagang, mengusahakan pelayanan, menangkap ikan
di tengah lautan sepanjang tepi sungai. Juga memelihara binatang dan menanam
buah-buahan, bertani dan sebagainya.
Sang
Raja membuat candi, serta patung Siwa Mahadewamardhacandrakapala dan
Ganayanadewa, juga Hyang Wisnudewa. Anutan mereka sekalian Waisnawa. Karena
sekalian warga masyarakat, mengharapkan hidup lanjut dan selamat.
Temuan arca-arca di "Candi
Pulasari", seperti yang dikemukakan oleh Claude Guillot, ternyata mendapat
penjelasan dari naskah Pangeran WangIsakerta. Kekunoan arca‑arca tersebut,
sangat berbeda dengan arca ‑arca lain yang lebih muda, yang ditemukan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena kekunoannya itulah, Guillot mempersoalkan
"arca-arca itu sudah dirusakkan (pada masa Hasanudin?)". Akan tetapi,
pada bagian lain, Guillot menjelaskan, antara lain sebagai berikut:
Arca-arca yang disebutkan sebagai "arca Caringin" itu telah
dilupakan lama sekali sejak diangkut ke Jakarta, dan di sana tercampur dengan
ratusan arca lain yang sejenis, sehingga hilang keunikan tempat asalnya.
Meskipun demikian arti pentingnya tidak luput dari perhatian R Friederiich pada
tahun 1850. Dalam sebuah kajian mengenai gaya arca-arca yang disimpan di Museum
Batavia, ia menulis tentang arca Ganesha, sebuah ulasan yang layak dikutip:
"Bahwa arca semacam itu, beserta beberapa arca lain yang bergaya lama,
telah ditemukan di daerah Banten, di bagian Pulau Jawa yang paling barat, berarti
bahwa peradaban dan seni Hindu telah tersebar sampai ke pantai itu. Sejarah
kerajaan yang telah melahirkan peninggalan kuno tersebut, dan bahkan nama
kerajaan itu, untuk sementara belum dapat dipastikan. Jelas peninggalan kuno
itu tidak dapat dianggap berasal dari Kerajaan Pajajaran sebab segala
peninggalan dan segala sesuatu yang kita ketahui tentang Pajajaran menunjukkan
keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan seni. Begitu pula peninggalan
Majapahit jauh dari menyamai peninggalan masa‑masa sebelumnya
(Guillot,1996:103).
Bagian yang terpenting dari pernyataan
Guillot, terdapat pada bagian akhir (kesimpulan), yang kutipannya antara lain
sebagai berikut:
Maka
kami menarik kesimpulan bahwa peninggalan di Caringin cukup kuno, dan bahwa
sebelum masa Pajajaran terdapat sebuah kerajaan Hindu di Banten
(Guillot,1996:108).
Kutipan tersebut sangat berharga,
memberikan kepastian lokasi; Banten sebelum masa Pajajaran. Oleh karena itu,
penelusuran harus kembali ke wilayah Gunung Pulasari Pandeglang, sebagai tempat
asal (insitu) arca‑arca Hinduisme itu pernah berada. Saleh Danasasmita,
menunjuk muara Sungai Ciliman di wilayah Teluk Lada (Pandeglang), sebagai pusat
kota Rajatapura (Danasasmita,1984:13).
Kota Palembang di Sumatera Selatan, antara
abad ke‑7 hingga abad ke-11, berada tepat di pantai. Sedangkan Palembang
sekarang, posisinya jauh dari garis pantai, hingga mencapai 8‑9 kilometer.
Begitu pula yang terjadi di Gunung Muria (Jawa Tengah). Akibat endapan lumpur
Sungai Lusi (Purwodadi) dan Sungai Tuntang (Demak) pada abad ke‑11 (masa
kekuasaan Raja Airlangga), daratan Gunung Muria menjadi satu dengan Pegunungan
Kapur pantai utara (Blora) di Jawa Tengah (Daldjoeni,1984).
Pelabuhan Aruteun terletak di muara Sungai
Cisadane. Pada waktu itu muara sungai Cisadane terletak jauh ke dalam, karena
garis pantai Laut Jawa lima belas abad yang lalu jauh berbeda dengan sekarang.
Tanah alluvial dari masa Ciaruteun sampai garis pantai Laut Jawa sekarang ialah
hasil endapan selama lima belas abad (Muljana,1980:13).
Begitu pula hal yang sama, bisa saja
terjadi dalam proses geologi pembentukan endapan di pantai barat Pandeglang.
Kemungkinan besar, ketika Salakanagara didirikan oleh Dewawarman tahun 130
Masehi (1871 tahun yang lalu), posisi kota kecamatan Mandalawangi, kurang lebih
8‑10 kilometer dari garis pantai, berada di pesisir barat Pandeglang.
Kemungkinan tersebut, didukung oleh pendapat Dedi M. Barmawijaya (akhli
geologi), bahwa posisi pantai barat Pulau Jawa abad ke‑2 Masehi, berada pada
ketinggian 120 meter di atas permukaan laut, saat ini (18 Maret 2001).
Lokasi Rajatapura sebagai ibukota
Salakanagara, dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara,
parwa I sarga 1, halaman 154, terungkap sebagai berikut:
....//hana pwa dewa
warman wamsanyakrawar
ting rajya salakana-
gara i bhumi jawa ku-
lwan/ i sedertg kitha-
rajyanya ngaran rajata-
pura ri tina ning sagara//
Terjemahannya:
Adapun
wangsa Dewawarman memerintah kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Barat, dengan
ibukota kerajaan bernama Rajatapura, (terletak) di tepi laut.
Secara kebetulan, di situs Cihunjuran (Desa
Cikoneng Kecamatan Mandalawangi), juru pelihara Burhan, menyimpan sebuah batu
bulat elipsis (panjang 24 cm, lebar 18 cm, tinggi 9,5 cm). Di salah sate
permukaan batu itu, terdapat titik titik dan garis‑garis yang terukir mirip
peta. Oleh karena itulah, Burhan menyebutnya "Batu Peta".
Setelah dicoba dikaji‑bandingkan, dengan peta topografi Pandeglang (cetakan
Belanda tahun 1938), terindikasi adanya beberapa ketepatan. Titik-titik dan
garis-garis yang terukir pada "Batu Peta", sebagian besar bertepatan
dengan peta lokasi situs kepurbakalaan, yang tersebar di sekitar lereng Gunung
Pulasari. Kemudian, titik terbesar yang berbentuk persegi empat, berada di
tengah‑tengah, bertepatan dengan posisi kota Kecamatan Mandalawangi sekarang.
Posisi kota Kecamatan Mandalawangi, ditinjau dari segi pertahanan keamanan,
sangat strategis, terlindung oleh 3 buah benteng alam: Gunung Pulasari, Gunung
Aseupan dan Gunung Karang. Oleh karena itu, posisi Mandalawangi, diduga kuat,
bekas lokasi Rajatapura ibukota Salakanagara.
***